You can also receive Free Email Updates:

Penegakan HAM Papua VS NKRI Harga Mati

*Zely Ariane
Pada Selasa, 11 Juni 2013, serombongan orang2 atas nama Front Pemuda Merah Putih mendatangi kantor KontraS, di Borobudur 14, menuntut pembubaran lembaga itu atas kegiatannya yang dituduh sebagai membela separatisme di Papua. Dua orang diantara mereka berorasi, sambil dua orang lainnya tampak memberi instruksi. Sementara orang-orang yang ikut tampak enggan merapat walau telah diperintah berkali-kali oleh orator. Yang maju dalam barisanpun tampak tak bersemangat dan ogah-ogahan.

Orator mengatakan, di satu sisi, bahwa perjuangan penegakan HAM itu penting seperti yang diperjuangkan alm. Munir, sementara di sisi lain ia mencaci maki KontraS sebagai antek asing dan pro separatisme OPM. Ia mengatakan NKRI adalah harga mati dan perjuangan HAM tidak boleh menawarnya. KontraS diminta berjanji dan membuktikan bahwa mereka tidak pro separatisme.

Motivasi

Ada tiga motivasi yang memberi landasan berlangsungnya aksi semacam ini, dan logika berpikir demikian masih bersemayam setelah 15 tahun Reformasi Indonesia.

Pertama, kelompok-kelompok sejenis ini dibentuk dan dipelihara oleh militer Indonesia. Cara-cara menyebar ancamannya pun dikembangkan serupa. Bayaran maupun tidak, para penggerak aksi tersebut, khususnya para pimpinan lapangan, adalah orang yang cukup 'militan' mengawal isu-isu NKRI harga mati, walau dengan materi penjelasan yang sangat miskin dan acak-acakan, seperti halnya berbagai kelompok para militer seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Barisan Merah Putih dan sejenisnya. Bila kita menyaksikan dokumenter The Act of Killing, hal semacam itu tampak jelas dalam tindakan dan pikiran Pemuda Pancasila, misalnya. Kelompok-kelompok semacam ini dapat tiba-tiba muncul dan beraksi ketika isu-isu terkait perbatasan maupun separatisme muncul ke permukaan.

Kedua, NKRI harga mati yang menjadi doktrin mereka tidak sama dengan NKRI dan tak sama dengan RI. NKRI harga mati adalah doktrin orde baru yang melanggar hak azasi manusia. Dalam bingkai NKRI harga matilah Soeharto Orde Baru mendalangi pembantaian massal 1 juta manusia tak bersenjata pada 1965-1966, operasi militer di Papua sejak 1969, Timor Leste, dan Aceh. Ratusan ribu orang tak bersenjata menjadi korban yang sampai sekarang tak mendapat keadilan. Sementara NKRI sendiri pun samasekali bukan harga mati karena bentuk negara dapat diubah sesuai kehendak rakyat dan kebaikan seluruh atau mayoritas warganya.

NKRI harga mati ini adalah tameng ideologi Orde Baru untuk meredam perlawanan rakyat ditengah penggadaian kedaulatan bumi dan air milik rakyat ke tangan para korporasi oleh pemerintahnya sendiri, yang padahal telah mengobrak-abrik kedaulatan negeri itu sendiri. Tentu saja NKRI harga mati tak pernah mempersoalkannya, bahkan mempromosikan jual murah negerinya pertama kali melalui UU PMA No.1 1967 dimana PT.Freeport pertama kali mendapat kontak karya di Papua bahkan sebelum Papua terintegrasi secara hukum ke Republik Indonesia. Dan Soehartolah yang juga mendalanginya.

Ketiga, eskalasi persoalan Papua di dunia internasional, kegagalan penanganan kesejahteraan Jakarta dan kegagalan pendekatan 'mengindonesiakan Papua' oleh pemerintah era reformasi, membuat pemerintah bukannya mengubah paradigma pendekatan namun justru mengintensifkan kekerasan. Persoalan separatisme, selain karena sebab-sebab historis yang harus didialogkan, juga karena paradigma pemerintah sendiri yang menstigmatisasi orang Papua sebagai separatis dan memenjarakan semua aksi damai tanpa kekerasan yang mengekspresikan kehendak pemisahan diri. Selain itu teror dan tuduhan-tuduhan separatis pada semua orang Papua, yang melawan dan meminta keadilan, oleh pemerintah melalui aparat keamanan, membuat hati dan pikiran orang Papua semakin dekat dengan separatisme, karena pemerintah Indonesia yang ada dihadapan mereka adalah pemerintah yang membunuh dan tak mau dialog. Dengan cara itu telah lebih dari 100.000 orang Papua dibunuh sejak 1969, kemiskinan dan penyakit semakin akut membuat Papua berada pada posisi terendah dalam indeks pembangunan manusia. Sementara Freeport semakin kaya, pejabat pusat dan daerah yang menangani Papua semakin makmur, aparat semakin luas cabang-cabang bisnis legal dan ilegalnya. Itu semua terjadi terus hingga saat ini tanpa kontrol dan penegakan hukum di negeri kaya raya itu.

Perwakilan Front Pemuda Merah Putih mengatakan bahwa: "bila separatisme di Papua didukung maka yang lain juga akan minta, sehingga Indonesia akan jadi bubar". Bila demikian, maka sebetulnya kita harus memahami bahwa landasan bernegara kita sudah semakin terkikis. Bukan terkikis karena kurang menghapal Pancasila atau UUD' 45 atau kurang hapal atau merdu menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi karena para penyelenggara negara dan penegak hukum adalah pihak-pihak yang tidak dicintai rakyat, yang semua kebijakannya lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya dan korporasi ketimbang orang-orang kebanyakan.

Para tentara rendahan yang diperintahkan membela NKRI dan mati di Papua adalah korban dari kebijakan represi negara atas nama NKRI yang tak memberi manfaat bagi diri dan keluarganya: gajinya tetap rendah dan anak cucunya tetap tak bisa sekolah tinggi. Demikian pula para pendukung OPM yang marah karena tanahnya diobrak-abrik tanpa mereka pernah dilibatkan untuk bicara, ditanyai pendapatnya, yang anak-anak dan keluarganya, jangankan bersekolah, mencari makan dan mengelola tanah saja tak lagi diberi ruang oleh negara. Keduanya sama-sama korban dari ideologi NKRI Soeharto Orde Baru yang masih menjadi kendaraan politik para Jenderal dan materi doktrin para perwira dan tamtama di sekolah-sekolah militer.

NKRI harga mati adalah doktrin Orde Baru yang melanggar HAM. Semua instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia tak akan bisa dijalankan selagi doktrin ini tidak disingkirkan. Kita mesti menjadi negara hukum bukan negara kesatuan dengan harga kematian. NKRI harga mati jika terus dibiarkan justru akan menghancurkan landasan berbangsa dan bernegara yang paling hakiki: kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

* Zely Ariane, koordinator NAPAS
 

Menilai Kehadiran Freeport Dari Kaca Mata Mayoritas Ke-Papua-an

Oleh: Herman Katmo*

Tak mungkin bagi saya, membalut luka sayat di hati, melupakan Sang Pejuang, guru SD yang terpaksa menjadi Jenderal, Umeki Kelly Kwalik (Alm). Bukan karena dia seorang kepala suku Amungme, tapi karena Dialah putra adat Amungsa sekaligus pemimpin perjuangan rakyat Papua, yang konsisten mengobarkan api perlawanan Terhadap Kejahatan Freeport dan Negara hingga akhir hayatnya dalam kesahajaan. Perjuangan Dia mewakili suara para korban (perempuan dan anak-anak). Juga mewakili ketegaran para pemimpin sejati Papua dan jiwa-jiwa leluhurnya di Nemangkawi, yang dengan sadar menolak segala kemewahan, sogokan dan melawan keangkuhan Freeport. Sebab korporasi itu memanen dolar dari tanah leluhur kami, sambil terus menggali kuburan bagi rakyat Papua. Umeki bukan penjahat seperti yang dituduhkan! (Kahar Nobara).

Freeport Ilegal: Hasil persengkokolan jahat, yang berujung pada pengabaian hak politik rakyat Papua dan mekanisme demokrasi.


Nemangkawi (Erstberg), Greesberg, dan gunung-gunung salju lainnya yang mengandung sejumlah besar mineral berharga bagi komoditi pasar dunia telah menjadi tujuan yang sangat ambisius bagi Amerika Serikat, blok modalnya, serta pemerintah Indonesia. Untuk tujuan itu, hak-hak dasar orang Papua telah lama dikorbankan, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.

Rezim Militer Orde Baru mendukung upaya investasi Freeport di Papua dengan  cara melahirkan dua unndang-undang yakni, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.

Dengan dasar dua undang undang diatas, Kontrak Karya (KK) I dengan Resim Militer Orde Baru dilaksanakan pada 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg beroperasi pada bulan Desember.

Proses penandatangan ini KK I ini ilegal karena terjadi dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan PBB pun belum mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia. Saat ini aktivitas eksploitasi dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun KK II inipun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.

Demi amannya bisnis Freeport, dengan tekun James R Moffet membina persahabatan dengan Presiden Soeharto dan kroninya – policy paper PBHI, merujuk laporan New York Times.

“Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.” Diuraikan dalam policy paper tersebut bahwa antara tahun 1998-2004 Freeport telah memberikan hampir 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) dan tambahan 10 juta dolar (sektar Rp 90 miliar) kepada jenderal, colonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi, dan unit-unit militer.

“Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer…dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun.”[1]

Sejak awal Freeport tidak jujur dan tidak adil [2]

Banyak cerita bahwa sejak mulai lakukan eksplorasi, perusahaan ini ‘membeli’ kedaulatan masyarakat Amungsa atas hak ulayat dengan menghadiahi barang komoditi tertentu yang murahan, memanfaatkan keawaman dan ketidakberdayaan masyarakat saat itu.

Setelah eksplorasi, selama puluhan tahun memanen keuntungan besar tapi masyarakat tidak pernah tahu berapa besar hasil yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya  alam itu. Apa jenis  kandungan mineral yang diperoleh pun tak diketahui. Tanggungjawab sosial perusahaan juga baru kelihatan setelah protes terbuka dengan memogokkan aktifitas perusahaan selama sehari yang didukung secara luas pada tahun 1995 – waktu itu James R Moffet langsung ke Timika, dan Freeport mengucurkan dana 1 % dari keuntungannya.

Freeport dan Negara, aktor kekerasan

Tidak sedikit rakyat Papua Menjadi korban kekerasan di areal pertambangan perusahaan raksasa ini, terutama manusia Amungme, Nduga, Damal, Dani, Moni, Mee, dan Kamoro.

Rezim Militeristik Orde Baru telah menjamin berjalannya investasi perusahaan ini, hampir tanpa protes yang berarti selama bertahun-tahun, meski perusahaan ini terindikasi melakukan kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan, perusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Kalaupun ada protes dari masyarakat, dengan cepat dan tanpa ampun tentara akan menghadapinya dengan pendekatan-pendekatan yang sangat militeristik. Tidak semua kasus kekerasan disebut disini, hanya beberapa saja yang mewakili kekerasan kolektif. “Gejolak 77”, yakni sebuah protes masyarakat yang dilakukan pada tahun 1977 dengan mencoba memotong pipa aliran konsentrat di Tembagapura, yang berbuntut pada tindak kekerasan ABRI yang membekas di hati masyarakat hingga hari ini.

Di tahun 1994-1995 juga terjadi peristiwa kekerasan kolektif terhadap masyarakat sipil yang di-cap OPM karena mengibarkan berdera Bintang Kejora dalam keadaan damai di perkampungan sekitar tembagapura, sebagai bentuk protes pada Freeport. [3]

Antara Januari-Mei 1996, pasukan ABRI dan 16 orang tentara bayaran (SAS, pasukan elit angkatan udara Inggris) melakukan silent operasi di Bela, Jila, Alama dan desa Ngeselema (Mpnduma) – sekitar konsesi Freeport – dengan maksud membebaskan sandera para peneliti  asing. Akibatnya, “ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.”[4]

Saat operasi ini, kebun dan ternak masyarakat dimusnahkan. Karena ketakutan, banyak masyarakat menggungsi ke hutan, akibatnya sekitar 213 orang masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit. Antara 9-13 Mei, ada 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga Indonesia yang disandera dibunuh.

Secar tersamar, Freeport adalah pembawa situasi konflik


Tiap Minggu Kacau, begituah kepanjangan yang diberikan oleh masyarakat Papua di Timika, memplesetkan kepanjangan kata Timika. Namun esensi reputasi untuk kota Timika itu jelas memilik hubungan langsung dengan keberadaan Freeport. Korporasi itu tidak bisa lepas dari tanggungjawab sosial-politik terhadap situasi sekitar areal konsensinya, terutama Timika kota dengan intensitas konflik tinggi, berdimensi luas, dan laten – bak api dalam sekam. Konflik yang menjadi sifat bawaan Freeport itu berdimensi sangat luas. Ada aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, perburuhan, agraria, politik dll. Tapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: konflik vertikal maupun horisontal; Konflik yang muncul secara alamiah maupun konflik yang muncul terkait rekayasa kelompok tertentu.

Pertumbuhan ekonomi disatu pihak dan marginalisasi masyarakat asli adalah satu pemicu kecemburuan sosial yang setiap saat bisa memicu gesekan. Zely Ariane (koordinator Napas) menulis, “Sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari P. Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orba. Di tahun 1990-an di sekitar area tersebut populasi membuncah menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat TImika menjadi ‘zona ekonomi’ yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara (culturalsurvival.org). Satu persen royalti masyarakat asli adalah kembang gula yang tidak jelas dan pada prakteknya ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.”[5]

Peristiwa Tewasnya dua guru asal Amerika dan rangkaian penembakan misterius antara Juli 2009-Januari 2010: Ada seting menggiring perjuangan rakyat Papua tersandung stigma Teroris? Atau apakah ini bagian dari konflik perebutan hak atas bisnis pengamanan?

Sub topik ini saya ajukan, sebab sejauh pengamatan saya, ada dua peristiwa kekerasan kolektif yang penting untuk diungkap, dimana aparat keamanan secara jelas menuding pelakunya adalah TPN dan orang Papua, tapi tidak pernah dibuktikan dalam pengadilan yang adil.

Pertama, peristiwa penembakan terhadap Bus yang mengangkut sejumlah orang Asing, hingga menewaskan dua guru Amerika (Mei 2002)[6].

Kedua, Rangkaian penembakan misterius antara Juli 2009-Januari 2010 yang memuncak pada pembunuhan Jenderal Umeki Kwalik.

Menurut KOMPAS.com, sejak 11 Juli-23 Oktober 2009, rentetan aksi ini telah mengakibatkan empat orang tewas, dua diantaranya warga sipil, dan puluhan orang cedera. Sedangkan SKH Cenderawasih Pos (Kamis, 17 Desember 2009) memberitakan bahwa antara 8 Juli-November 2009 total korban meninggal sebanyak delapan orang, dan yang mengalami luka-luka sebanyak  37 orang.

Meski belum ada data valid dari institusi kepolisian sebagai pihak yang paling berkompeten, sejumlah pejabat TNI di Papua berupaya membentuk opini publik bahwa TPN dan Jenderal Kwalik adalah pelaku dari rangkain kekerasan ini.

Kepala Dinas Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Susilo kepada wartawan mengatakan, terkait rangkain penyerangan di Tembagapura, Kodam XVII/Cenderawasih meminta agar semua pihak harus waspada dan mencermati adanya pemutarbalikan fakta dari TPN/OPM.

“Sebab selama ini kelompok TPN/OPM selalu memfitnah TNI dan aparat keamanan kita yang merekayasa tindak kekerasan,” tandasnya. Sebaliknya, mereka terlihat begitu difensif menaggapi hasil olah TKP yang mana ditemukan bukti-bukti berupa sejumlah selongsong peluruh buatan pabrik senjata dan peluruh milik Angkatan Darat (Pindad). Banyak kalangan menilai pihak kepolisian sangat lamban dalam mengungkap kasus ini, sementara masyarakat sipil di Timika terus berada dalam suasana ketakutan (hilangnya rasa aman) karena operasi penyisiran aparat kepolisian.

Kapolri maupun Kapolda Papua berjanji akan terus berupaya mengungkap pelaku, jaringan, dan latar belakangnya. ”Kami tidak tinggal diam. Kami berupaya mengungkap kasus ini pelan-pelan. Mudah-mudahan pelakunya dapat tertangkap, dan saat ini kami masih berupaya melakukan pengejaran terhadap pelaku,” jelas Kapolda.

Berdasarkan dugaan, pihaknya telah menetapkan daftar pencarian orang (DPO), sambil lakukan pengamanan ketat di Mile 53 ke atas, tapi mengakui kemungkinan pelaku menghindari patroli pengamanan. Kapolda mengatakan, anak buahnya setiap hari harus mengawal 106 kontainer siang maupun malam, juga mengawal bus karyawan Freeport.  “Itu kita kawal di depan, tengah dan belakang. Hanya saja, sarana kita terbatas sehingga kendaraan harus gantian. Selain dibantu TNI, Polri sudah membuat pos-pos pengamanan dimana setiap pos ditempati 6-8 personel, namun mereka melakukan penembakan sekitar 60 – 80 meter dengan kondisi alam yang curam sehingga menyulitkan pengejaran,” jelasnya.

Dalam waktu singkat, wacana telah melegitimit, orang Papua dan Tuan Kwalik adalah pelaku rangkaian penembakan itu. Operasi penyisiran dan penyergapan berjalan, Kencana Lestari adalah nama sandinya. Dengan kekuatan Brimob Polri, Detasemen Khusu 88 Antiteror, Badan Intelijen Polri, dan jajaran Polda Papua, yang langsung dikoordinasikan dengan Deputi Operasi Mabes Polri. Pihak Polri dan Polda Papua menegaskan bahwa sesuai laporan polisi tanggal 31 Agustus 2002, Jenderal Kwalik merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus mile 62-63, yang menewaskan Ricky Lyne Spier dan Edwin Leon Murgon (warga Amerika) dan FX Bambang Riyanto.

Dari peristiwa ini Jenderal Kwalik diburu dengan jeratan ”pasal 340 KUHP jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan atau pasal 338 KUHP jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan pasal 351 ayat 1 dan 2 jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan pasal 1 Undang-undang Darurat RI No 12 Tahun 1951 jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP.”

Polda Papua bahkan memberi tawaran, siapa saja yang dapat memberikan informasi keberadaan Jenderal Kwalik hingga tertangkap, akan diberi imbalan Rp 10 juta. ”Kelly buronan yang sudah lama sekali, lebih dari 10 tahun,” demikian kata Brigadir Jenderal (Pol) Tito Karavian, waktu itu masih sebagai Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri.

“Kami menilai bahwa aksi teror berupa penembakan yang sudah terjadi selama beberapa hari di Timika Papua tersebut sarat dengan motif politik yang menginginkan Papua pada kondisi ketidakamanan sehingga terus menempatkan Papua sebagai daerah rawan konflik. Sehingga penting diingat bahwa aksi kekerasan yang sekarang terjadi di Timika bukanlah yang pertama kali terjadi. Jauh sebelum tahun 2009 pun sudah terjadi berbagai peristiwa kekerasan serupa. Bahkan tahun ini, sebelum pelaksanaan pesta demokrasi Pileg dan Pilpres berbagai peristiwa kekerasan di Papua juga terjadi. Di titik itu, peristiwa kekerasan di Papua bisa menjadi suatu rangkaian yang terpisah tetapi juga bisa menjadi suatu rangkaian kekerasan yang saling terkait dengan tujuan menciptakan insecurity di Papua,” terang Poengky Indarti saat konferensi pers di Jakarta (14/07/09).

Direktur Hubungan Eksternal Imparisial ini meminta aparat keamanan supaya tidak semudah itu menuding TPN/OPM sebagai pelaku sebelum proses hukum yang benar dijalankan.

Menurutnya, dari analisa Imparsial, berbagai kemungkinan penyebab rangkaian aksi kekerasan itu antara lain akibat: efek dari persaiangan politik kekuasaan di Jakarta; pertarungan bisnis jasa keamanan, aplagi kini keamanan Freeport dipegang oleh security PT. FI dan aparat Kepolisian (berdasarkan Kepres Pengamanan Obyek Vital Nasional No. 63 Tahun 2004); Dugaan serangan TPN/OPM: dan lemahnya kontrol terhadap pergerakan pasukan di Papua.

Senada dengan itu, gabungan LSM (Kontras, Foker LSM Papua, PBHI, Imparsial, Perkumpulan Praxis, Eksnas WALHI, JATAM) dan Persekutuan Gereja Indonesia juga mengeluarkan empat butir pernyataan sikap di Jakarta (15/0709) menyangkut situasi di Timika dan Papua.

”Kepada TNI dan kalangan pemerintah agar menghentikan pernyataan-pernyataan provokatif atas berbagai insiden kekerasan yang terjadi di Papua, sepenuhnya menyerahkan kepada pihak kepolisian dalam rangka penyelidikan-penyidikan secara profesional dan terbuka; Kepada pihak kepolisian agar tetap menjaga independensi dari intervensi pihak lain dalam pengungkapan motif dan pelaku kekerasan; Kepada semua pihak untuk menghentikan stigmatisasi separatisme bagi rakyat Papua dan memulai merumuskan solusi bersama dari ketidakadilan yang terjadi melalui dialog damai; Kepda DPR RI 2004-2009 untuk segera mengumumkan kepada publik hasil Panitia Khusus untuk kasus PT Freeport yang dibentuk tahun 2006.”

Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut yang sebelumnya telah mendapatkan informasi dari Dr S Kirksey, antropolog dari Universitas California, menilai bahwa rangkaian peristiwa teror ini bukan dilakukan oleh OPM yang sesungguhnya. Ini merupakan skenario untuk mencapai target tertentu, bahkan dilihatnya sebagai perang terbuka antara TNI-Polri dalam memperebutkan dolar dari Freeport.

”Tahun 2002  saat pembunuhan WNA Amerika Serikat. Kalau OPM yang dituduh, dimana mereka dapat senjata? Lalu bagaimana mereka masuk lokasi pertambangan yang dijaga ketat oleh aparat keamanan Indonesia? Saya mendapat pesan ini dari Dr. Eben.” Yaboisembut juga mengatakan bahwa masyarakat adat tidak bodoh sehingga menodai perjuangan murni untuk memperoleh hak-hak yang selama ini diabaikan dan ditindas. Rekayasa ini untuk membungkam dan membunuh  masyarakat adat Papua baik secara fisik maupun psikologi.

”Freeport tidak boleh lepas tangan kepada mereka yang kena musibah dan korban, juga kepada keluarga mereka. Freeport adalah penyebab masalah ini,” tegasnya.

Dalam sebuah pertemuan malam (27/07) dengan Gubernur Papua barnabas Suebu, dan petinggi TNI-Polri, belajar dari pengalaman kasus sebelumnya yang terjadi di Mile 62-63 pada 2002 lalu, tokoh-tokoh adat dan masyarakat Timika terus mendesak kepolisian untuk menangkap pelaku penembakan yang sebenarnya dan tidak mengorbankan warga sipil. Salah satu tokoh masyarakat Kwamki Lama, Yacobus Kogoya, dalam forum itu menyatakan bahwa pelaku penembakan bukan anggota organisasi Papua Merdeka. ”OPM tidak lagi. Di Timika tidak ada OPM, dan yang melakukan penembakan bukan OPM.”

Sementara itu, sebagai wakil dari YAHAMAK, Hans Magal mengatakan bahwa rentetan peristiwa itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama terkait penyisiran dan penangkapan yang dilakukan pihak polisi terhadap masyarakat sipil. Padahal menurutnya, jika merujuk pada tempat penemuan selongsong peluru yang dijadikan barang bukti, lokasinya jauh dari pemukiman masyarakat dan bukan tertangkap tangan.

”Apakah barang bukti (peluru) ditemukan bersama masyarakat (warga sipil yang ditangkap)?” Hans Magal menegaskan bahwa  beberapakali kasusu kekerasan terjadi di Timika oleh kelompok-kelompok kepentingan, masyarakat selalu dijadikan korban.

Pdt. Lipyus Biniluk STh Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Tanah Papua, dalam seruan moral dan  meminta kepada semua pihak agar menghentikan semua aksi kekerasan yang terjadi, termasuk penangkapan dan intimidasi yang dilakukan pihak kepolisian kepada masyarakat sipil di Timika. Sebab kekerasan yang terjadi di Freeport sangat menyengsarakan banyak masyarakat Papua yang tak bersalah, terutama yang berada di sekitar lokasi Freeport.

“Segera hentikan intimidasi, terror dan penangkapan yang sedang terjadi atas warga sipil yang tidak bersalah dan stop kekerasan terhadap masyarakat asli Papua di Timika,” ujarnya. Dan meminta kepada pihak berwajib untuk mengungkap pelaku dibalik peristiwa ini. ”

Segera ungkap siapa aktor intelektual dibalik semua peristiwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua,” tegasnya. Selain itu, pimpinan gereja juga menyerukan kepada pemerintah pusat segera melaksanakan dialog dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua secara bermartabat, adil dan manusiawi yang di mediasi pihak ketiga yang lebih netral.

Pertengahan Oktober 2009 Kapolda Papua Irjen Bagus Ekodanto akhirnya mengutus anak buahnya untuk menemui  Jenderal Kelly Kwalik, guna memastikan benar tidaknya anak buah Kwalik adalah pelaku rangkain peristiwa itu. Ternyata dalam pertemuan ini, Jenderal Kelly Kwalik menegaskan bukan pihaknya yang melakukan serangkain penembakan dimaksud.

Markus Haluk melaporkan[7], sejak tanggal 20 juli 2009 aparat kepolisian melakukan operasi penyisiran dan menangkap disekitar kota Timika dan areal pertambangan. Tujuh orang warga sipil asal suku Amungme yang bermukim di Kota Timika (Kwamki Baru dan Kwamki Lama), juga di sekitar Tembagapura ditangkap. Tanggal 23 Juli 2009 tujuh orang warga sipil asal Amungme yang bermukim di Jalan Baru, Distrik Kwamki Baru ditangkap lagi. Sekitar 25 warga sipil Papua telah di tangkap.

Hal ganjil dalam rangkain peristiwa ini adalah bahwa ada 1.500 pasukan keamanan (termasuk Densus 88) yang sudah disiagakan, juga tujuh orang yang dituduh sebagai pelaku telah ditahan, namun peristiwa penembakan masih saja terjadi.

“Ironis lagi sementara ke tujuh orang masih dalam tahananPolres Mimika, berulang kali penembahkan masih terus terjadi di areal perusahan dan telah melukai bahkan merengut korban warga sipil. Peristiwa terbaru adalah penembakan terjadi pada tanggal 19 Oktober 2009 di mile 42 daerah dataran rendah yang mudah terjangkau dan masih dalam status siaga satu bagi aparat Keamanan di areal tersebut,” tulis Haluk dalam laporannya.

Lalu, setelah Jenderal Kelly Kwalik ditembak, siapa yang memerintahkan penembakan pada tanggal 24 Januari 2010?

Menurut sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola – Koran Jakarta (17/12/09) – selama masih ada perasaan ketidakadilan dan kesenjangan, aksi-aksi separatis akan muncul kembali. ”Pengikut Kwalik akan melanjutkan perjuangan OPM,” katanya.

Sementara pada koran yang sama, Sekjen Indonesia Human Right Commitee for Social Justice (ICHCS), Gunawan, mengatakan bahwa situasi keamanan di Papua tidak akan banyak berubah pasca tewasnya Jenderal Kwalik, sebab akan muncul pemimpin baru.

”Orang Papua secara sistematis dan meluas ditindas, dimiskinkan, dan dibodohkan. Bukti-bukti sangat kasat mata, sangat jelas,” kata Gunawan.

Selain itu,  Aryo Wisanggeni Genthong dalam opininya di Kompas (http://kompas.com) mengatakan bahwa menuding Jenderal Kwalik memang jalan yang mudah, namun perlu direnungkan, Jenderal Kwalik bukan penyebab dari konflik berkepanjangan di Papua.

”Apa mau dikata, menuding Kelly Kwalik memang jalan termudah menjelaskan karut-marut konflik Papua. Tentu saja penyerangan terhadap warga sipil, jika memang benar pelakunya Kelly Kwalik, ataupun penyanderaan warga sipil sebagaimana kasus Mapenduma bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan. Namun, Kelly Kwalik bukan satu-satunya aktor kekerasan berlatar belakang politik di Papua. Muridan S Widjojo dan kawan-kawan dalam buku mereka, Papua Road Map, mengingatkan, kekerasan politik di Papua sudah dimulai sejak 1962. Kala itu Kwalik belum lagi lulus SD. Kelly Kwalik telah berpulang dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang bisa diperdebatkan. Namun, ada persoalan yang juga penting untuk direnungkan, yaitu kekerasan di Papua yang tak kunjung berakhir meski daerah operasi militer dicabut sejak 1998.”

*Herman Katmo adalah Anggota Tim Informasi, riset, dan Dokumentasi Nasional Papua Solidarity.

Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar diskusi di Kontras Jakarta, pada 29 Mei 2013. Sebagian besar isi tulisan ini diambil dari tulisan saya, “Freeport Menanbang Mineral, Rakyat Papua Mendulang Kekerasan – Kematian Jenderal Kwalik dan Jalan Panjang Ketidakadilan” yang di terbitan Garda-P, bulletin Wene edisi 2, para laporan utama.


[1] Dikutip dari Policy Paper Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Juli 2006, Tentang Freeport dan Extraterritorial Obligation.” Policy Paper itu juga memuat bahwa, “Mohammad Sadly, salah satu anggota kabinet Soeharto menyebutkan, melalui ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi Orde Baru merupakan factor terpenting pemicu pemberian jalan kepada Freeport untuk beroperasi di Papua Barat, padahal study kelayakan proyek ini selesai dan disetujui pada bulan Desember 1969.”

[2] Dalam buku “Moses Kilangin Uru Me Ki” diungkap bahwa masyarakat lembah Waa dan Banti di bawah pimpinan dua kepala sukunya, Tuarek dan Nigaki, sebenarnya telah melakukan protes kepada Freeport diawal explorasinya pada tahun 1967 sebab mereka menyadari bahwa nemangkawi sebagai tempat keramat suku Amungme akan dirusak. Dan bersamaan dengan itu, uru Me Ki (sang guru besar) Moses Kilangin yang waktu itu diminta pihak Freeport untuk meyakinkan masyarakat, berpesan kepada John Curri – wakil pengawas senior Freeport saat itu – dengan mengatakan, “kalau kalian bikin begini nanti masyarakat bikin begitu. Nanti bermasalah terus menerus. Lebih baik kalian kerja jujur dan adil saja, sehingga kalian tidak diganggu terus. Kalau ada hasil, bicara baik-baik dengan masyarakat. Jangan meremehkan masyarakat. Perhatikan mereka punya pendidikan, kesehatan, perumahan, perumahan yang baik, hak-hak masyarakat harus dihargai, dan hormati masyarakat Amungme sebagai penduduk asli sebagai manusia.”

[3] Uskup Jayapura, Herman Munninghof melaporkan bahwa sepanjang pertengahan tahun 1994 sampai awal 1995 telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI. Dimna terjadi penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 5 orang (termasuk Mama Yospha Alomang (Oktober 1994), dan berulang terhadap 20 orang (Desember 1994).  Pada 31 Mei 1995, ABRI menembak kerumunan masyarakat yang sedang beribadah di kampong Hoea hingga 11 orang tewas, diantaranya ada dua anak berumur 5 dan 6 tahun. Tidak hanya itu,  terjadi juga pembumihangusan kebun dan rumah-rumah masyarakat.

[4] Dilaporkan oleh Els-Ham Papua, mengacu pada laporan uskup Herman Munninghof.

[5] http://infonaps.blogspot.com/2013/05/longsor-freeport-dan-persekongkolan#.UaKaacVbuII.email

[6] Jika eksekusi mati Tuan Umeki Kwalik oleh Densus 88 dikarenakan beliau dtuduh terlibat kasus Mile 62-63 tahun 2002, justeru sejak awal banyak kalangan meragukan hal tersebut. Investigasi Els-Ham Papua malah menemukan sejumlah indikasi keterlibatan anggota tentara, meski tentara mengelak dan Pangdam Papua saat itu balik mensomasi Els-Ham dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, dugaan keterlibatan tentara dalam peristiwa itu dikuatkan oleh S. Eben Kirskey dan Andreas Harsono lewat hasil penelitian mereka yang disajikan dalam makalah berjudul Criminal Collaboration? Antonius Wamang and the Militery in Timika. Dimana berita tentang hasil penelitian tersebut dimuat di harian Kompas, Koran Tempo, AFP, Chanel Nine, BB Indonesia, Radio Hilversum, harian Belanda AD, Radio Australia, dan harian The age (Melbourne). “Dalam makalah, kami menyebut lebih dari selusin nama – tentara, polisi, maupun politisi – yang disebut-sebut dalam keterangan saksi-saksi mapun dalam pengadilan. Namun Pengadilan Negeri Jakarta tak memanggil orang-orang itu,” kata Harsono dalam sebuah wawancara. Kesan Harsono dan Kirskey, kasus ini dengan tergesa-gesa ditutup karena pemerintah Amerika ingin secepatnya bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang militer, setelah terhenti pasca referendum Timtim 1999. Akhirnya hubungan kedua Negara kembali cair pasca teroris menghancurkan menara WTC di Amerika, peristiwa Bom Bali I, dan pasca keputusan penjara seumur hidup terhadap Antonius Wamang. “Kerjasama militer ini menghabiskan jumlah dolar yang besar, dan bahkan Indonesia adalah penerimaan bantuan program anti terorisme terbesar dunia, lebih tinggi dari Yordania, dan Pakistan. Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar U$$ 6,2 juta, sejak 2002 hingga 2005. Yang terbaru ditahun 2007, Amerika memberikan bantuan U$$ 18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebut era baru kerjasama militer kedua Negara dimulai.”

[7] Laporan dengan judul “Tragedi Berdarah Warga Sipil Di Areal PT. Freeport Indonesia Timika – Papua (Tragedi 11 Juli-29 Oktober 2009”
 

Mengenal Papua Lebih Dekat

Road Voice Java Tour


Mengenal Papua Lebih Dekat, adalah tema tur keliling pemutaran video-video pendek Papuan Voices, yang dikoorganisir oleh National Papua Solidarity (NAPAS) dan komunitas atau organisasi-organisasi di tingkat kampus-kampus di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Salatiga dan Surabaya.

Tujuan acara ini adalah mendekatkan berbagai persoalan kemanusiaan di Papua ke dalam keseharian hidup orang muda Indonesia. Sehingga penggambaran tentang Papua menjadi lebih hidup dan manusiawi dengan suka dan dukanya, tak sekadar berita-berita kekerasan dan aktivitas Freeport yang selama ini mendominasi pengetahuan publik Indonesia tentang Papua. Untuk, pada akhirnya, Papua menjadi tak asing dari kita, dan melihat Papua sekaligus sebagai sebuah proses politik yang belum selesai.

Pertunjukan di Univ. Sahid

Pemutaran perdana video pendek Papuanvoices. Pada 8 Mei 2013, di Univ Sahid digelar oleh sobat-sobat Papua dari Forum Mahasiswa untuk Demokrasi (FORMAD). Semula pihak rektor sempat enggan memberi izin pemakaian tempat karena melihat ada kelompok Papua seperti NAPAS yg turut menjadi penyelenggara. Mereka bahkan bertanya apakah ada hubungan antara NAPAS dengan OPM. Pertanyaan semacam itulah salah satu wujud stigma yang meluas terkait Papua.

Acara berlanjut dengan obrol-obrol seputar Papua dan kegiatan NAPAS,  setelah menyaksikan sekitar 9 video pendek. "Mengapa hanya peristiwa yang sedih-sedih saja yang diangkat dalam cerita?" Demikian sebuah komentar dari perserta, yang segera diikuti yang lainnya: "Mengapa situasi pendidikan begitu buruk? Mengapa kekerasan seksual terjadi dan dibiarkan? Mengapa orang-orang di kampung tidak pindah saja ke kota untuk cari kerja? Otonomi khusus kalau begitu sudah bikin apa saja?"

Pertanyaan-pertanyaan yang mewakili ketidaktahuan mahasiswa terkait Papua membuat forum tak lagi sekadar tanya jawab terhadap video dan Papua, juga jalan mengenal Papua dari orang Papua dan Non Papua yang membantu memberi tanggapan pada obrolan itu.

Univ. Negeri Jakarta

Pada 15 Mei tur Mengenal Papua berlanjut ke UNJ. Fakultas Pendidikan. Sebuah kuliah metode penelitian sosial diubah menjadi nonton dan ngobrol tentang Papua. Tak kurang 35 orang hadir di kelas dan antusias menyaksikan, khususnya Surat untuk Sang Prada, Awin Meke, Anak-anak Cendrawasih, dan Mama Pu Mau.

Dari obrol-obrol menjadi diskusi yang seru seputar situasi pendidikan, hak atas tanah, Freeport, bahkan Gusdur dan OPM. Seorang mahasiswi berdiri dan mendeklarasikan bahwa ia hendak mengabdikan dirinya untuk mengajar di Papua, dan ia bertanya apa yang harus dia siapkan dan bagaimana medan yang akan ia hadapi. Mahasiswa yang lain berkomentar tentang betapa mudahnya pelepasan tanah terjadi, bagaimana biasanya perusahaan mendekatai rakyat?

Pertanyaan kemudian perdebatan seru terjadi ketika seorang mahasiswi bertanya kenapa pendekatan Gusdur terhadap Papua lebih berani dan manusiawi ketimbang pemerintah yang lain. Dan dijawab oleh teman mahasiswa lainnya dengan ketidaksetujuannya dengan apa yang dilakukan Gusdur dengan membiarkan pengibaran bendera bintang kejora. Mahasiswi yang mengajukan pertanyaan membantahnya dengan mengatakan bahwa kita seharusnya bisa melihat mana persoalan yang elementer dan prinsipil. Baginya semua persoalan yang ditampilkan dalam video adalah prinsipil ketimbang pengibaran bendera. Si mahasiswa yang membantahnya tampak bersungit-sungut tak setuju.

Namun sayang waktu tak memungkinkan untuk meneruskan perdebatan.

Vokasi Univ. Indonesia

Acara yang diselenggarakan bersama Forum Aksi Mahasiswa (FAM) UI berlangsung pada Jumat, 25 Mei 2013. Sekitar 20 orang hadir menyaksikan dan ikut berdiskusi. Situasi terkait kehidupan Mama-Mama pedagang pasar di Papua kali ini menjadi sorotan. Seorang mahasiswi bertanya mengapa pelayanan publik pasar dibedakan antara orang asli dan pendatang? Bagaimana kondisinya saat ini. Pertanyaan seputar konsesi lahan yang diperoleh perusahaan juga mengemuka kembali, "mengapa begitu mudahnya?".

Seorang mahasiswa juga bertanya tentang seberapa besar dukungan masyarakat Papua terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan mengapa itu terjadi? Pertanyaan seputar minimnya layanan dan akses pendidikan juga muncul kembali. Dan pertanyaan reflektif yang penting diajukan oleh Ketua FAM UI kepada Elias Petege, tim roadshow film Papuanvoices dan salah satu tim dokumentasi NAPAS, "apa harapan Elias terhadap para mahasiswa di Indonesia?" Elias menutup diskusi dengan mengatakan bahwa harapan terbesarnya adalah semakin banyak kaum muda yang mengenal Papua dan memberi solidaritas kemanusiaan untuk Papua. Elias percaya, perubahan di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh kaum muda yang sadar dan bersolidaritas, setiap jengkal perubahan yang lebih baik di Indonesia akan memberi ruang bagi perjuangan di Papua.

Sementara ini, roadshow Mengenal Papua lebih Dekat baru menyelesaikan turnya di Salatiga yang juga berlangsung sukses, dan segera akan meluncur ke Semarang untuk 7 Juni mendatang.

Nantikan dan pastikan kehadiran kami di kota dan kampus anda.

Jangan ragu untuk menghubungi kami jika kampus anda berkeinginan melakukan pemutaran dan diskusi.

Solidaritas Tanpa Batas!

*Zely Ariane, Koord. National Papua Solidarity (NAPAS) dan tim roadshow Papuanvoices.












 
 
Copyright © 2013. National Papua Solidarity - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger