Oleh Herman Katmo*
Untuk memperoleh konsensus politik terkait Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya.
Sudah 50 tahun usia integrasi Papua
dengan Indonesia, jika dihitung sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini.
Seumur itu juga perbedaan paradigma pemerintah Indonesia dengan
masyarakat Papua.
Pemerintah selalu mengklaim persoalan integrasi
Papua sudah final dengan momentum 1 Mei 1963 dan Pepera 1969. Namun
rakyat Papua tetap meyakini dua momentum itu adalah tonggak dari
sejarah gelap rakyat Papua.
Evolusi perbedaan paradigma itu jelas
membentuk prototipe persoalan khas yang lebih sering dikenali dari
sifatnya yang antagonis: Jakarta selalu mencurigai Papua, Papua pun
bersikap sebaliknya pada Jakarta.
Jika ingin menyelesaikan persoalan
Papua secara damai, perlu memperhatikan aspek-aspek kegagalan
kebijakan terdahulu, sebelum mengimplementasi setiap kebijakan baru
untuk Papua.
Sulitnya melahirkan konsensus politik dari rakyat Papua
saat Otsus Papua pertama kali mulai akan dijalankan bisa menjadi
contoh pengalaman penting bagi pemerintah, begitu juga dengan
ketidakkonsistenan Jakarta dalam menjalankan produk kebijakan
tersebut.
Coba telusuri ke belakang, sebelum Unit
Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) muncul, sementara
Otsus baru akan berjalan, buru-buru diinterupsi oleh Inpres No 1
Tahun 2003 yang melahirkan Provinsi Papua Barat.
Kemudian muncul lagi
Inpres No 5 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2007 yang
melarang penggunaan Bintang Kejora serta Burung Mambruk sebagai
atribut kebudayaan Papua.
Kemudian polemik terkait proses
kelahiran Provinsi Irian Jaya Barat yang berjalan di luar bingkai UU
No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang berujung di
Mahkamah Konstitusi, rencana pemekaran Irian Jaya Tengah yang memicu
perang saudara di Timika, semuanya harus dijadikan pengalaman yang
berharga.
Banyak orang Papua menilai masa
pelaksanaan Otsus hampir tidak ada bedanya dengan masa sebelum Otsus
karena masalah-masalah yang berdimensi khusus dan krusial justru tak
banyak berubah. Malah korupsi atau penyalahgunaan uang rakyat terjadi
di mana-mana sehingga semakin menguatkan kesan bahwa Otsus tidak
lebih dari kebijakan politik penghamburan uang oleh Jakarta.
UP4B dan Otonomi Plus
Sementara itu keberadaan UP4B sebagai
implementasi dari Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat juga bukan solusi. Jakarta selalu
bersikukuh persoalan Papua hanya sebagai masalah pembangunan dan
kesejahteraan, atau bahkan dikerdilkan menjadi sekadar perimbangan
keuangan pusat-daerah, bagi-bagi jabatan, bagi-bagi uang atau bentuk
sogokan politik lainnya.
Paradigma macam itu tersirat dalam
pernyataan Ketua UP4B Bambang Darmono saat pelantikan pejabat UP4B
yang mengatakan tujuan utama UP4B adalah menyinergiskan seluruh
program-program percepatan pembangunan.
Maka kehadiran UP4B
langsung memicu pro kontra baru di antara masyarakat Papua maupun
antara rakyat Papua dengan Pemerintah. Menariknya, baru kurang lebih
setahun UP4B diluncurkan dan diberlakukan di tanah Papua, kini
“Otonomi Khusus Plus” ditelurkan lagi oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono setelah pertemuan dengan Gubernur Papua Lukas
Enembe, akhir April 2013.
Sampai saat ini
Otonomi Khusus Plus Papua (OKPP) masih sebuah barang yang tidak
jelas, sampai Agustus mendatang. Bagaimana hubungan dengan UU No
21/2001? Bagaimana hubungannya dengan UP4B? Apa saja isinya? Dan
seterusnya.
Walau masih dipenuhi berbagai pertanyaan tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan OKPP itu, hampir bisa ditebak bahwa
OKPP hanya sebuah kebijakan kecil yang menjadi subordinat Otsus dan
UP4B, yang fokusnya hanya pada masalah yang lebih spesifik soal
kesejahteraan, tidak menyentuh esensi persoalan krusial lainnya.
Sulit untuk mempercayai bahwa OKPP akan lebih berhasil dari UP4B.
Butuh Inovasi dan Nurani
Sikap keterbukaan Presiden SBY yang
ditunjukkan dengan kemauan untuk melaksanakan dialog tentu satu
langkah maju. Sayangnya, sulit mempercayai bahwa dialog yang dimaksud
SBY adalah seperti perundingan yang dimaksud rakyat Papua, atau
dialog yang dikonsepkan Neles Tebay, Pr. Ini karena, dalam hemat
saya, secara objektif, masih ada ganjalan yang menghambat
realisasinya.
Pertama,
hampir dapat dipastikan tawaran dialog ini mempunyai korelasi erat
dengan insiden penyerbuan oleh aparat keamanan yang mengakibatkan
jatuh korban di pihak rakyat sipil pascadigelarnya Kongres Rakyat
Papua III dan rentetan persoalan kekerasan yang baru saja terjadi
pada 2011.
Cara menangani soal yang berulang-ulang menggunakan
pendekatan keamanan macam begini masih sangat membekas di nurani
orang Papua. Selain itu, jika tawaran dialog ini muncul hanya sekadar
sebagai sikap responsif dan pencitraan karena tekanan berbagai pihak
atas tindak kekerasan aparat maka sulit menemukan gambaran komitmen
politik pemerintah sebab bersifat ambigu dan eskalatif.
Kedua,
presiden telah menegaskan dialog akan diadakan atas dasar tiga pilar,
yakni NKRI, Otsus, dan UP4B. Masalahnya, soal pelurusan sejarah
(proses integrasi) adalah soal krusial yang paling sering dituntut
orang Papua, juga dianggap berdimensi internasional dan sudah jelas
tidak akan mendapat tempat di dalam Otsus atau UP4B.
Penyelesaian Papua butuh sebuah inovasi
politik, bukan kebijakan politik yang sudah usang tapi terus
dipaksakan. Inovasi yang dimaksud akan lahir dari sebuah komunikasi
politik yang dilandasi sikap bijak, jujuran, terbuka, dan saling
menghargai, dan dilandasi penghargaan atas nilai hak asasi manusia,
keadilan, serta demokrasi.
Dialog adalah satu contoh inovasi
politik yang kami maksud. Tentu formatnya harus lahir dari sebuah
konsensus bersama antara pemerintah Indonesia dan orang Papua.
Untuk
memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang
Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar adanya kesempatan
bagi seluruh masyarakat Papua mengonsolidasikan diri. Intimidasi,
ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang
sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan.
Protes damai orang Papua jangan
disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus
dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu
menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik
internasional.
Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah
Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan
militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan
adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta
akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan
dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah “anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu.”
Posting Komentar