You can also receive Free Email Updates:

Diskusi Longsor Freeport: "Mengusut yang silam, menggugat pelanggaran, menyusun langkah ke depan."


Terkait bencana longsornya tambang Big Gossan PT. Freeport Indonesia, serta peringatan terhadap Hari Anti Tambang Sedunia, 29 Mei 2013, National Papua Solidarity (NAPAS) berencana menyelenggarakan dialog interaktif pada:


Hari : Rabu, 29 Mei 2013

Jam : 15.00 – 17.00 WIB.

Tempat : Kantor KontraS. Jl.Brobudur No.14 Menteng Jakarta pusat


Ayo!

#Kita usut jejak eksplorasi dan eksploitasi PT. Freeport Indonesia di Papua dalam seting politik Indonesia di era 1960-an;
#Kita urai hubungan korporasi Freeport, pemerintah Jakarta dan militer dalam diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap orang Papua serta penyingkiran sistematis masyarakat adat setempat;
#Kita tuntut pelanggaran hak-hak pekerja tambang dan kondisi keselamatan kerja;
#Kita gugat pelanggaran ekologi dan keamanan tambang bawah tanah;
#Kita rumuskan posisi-posisi strategis untuk membangun penghidupan manusia Papua yang adil dan sejahtera serta berkelanjutan secara ekologi.

Narasumber:

Herman Katmo, Tim Dokumentasi, Riset, dan Informasi National Papua Solidarity (NAPAS)
Jejak eksplorasi dan eksploitasi PT. Freeport Indonesia di Papua dalam seting politik Indonesia di era 1960-an; apa peran Freeport dan apa sikap gerakan sosial dan politik Papua terhadap keberadaan PT. Freeport. Apa rekomendasi terhadap keberadaan PT. Freeport?

Pius Ginting, Pengkampanye Tambang & Energi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Kontribusi PT. Freeport terhadap pelanggaran hak lingkungan di Papua dan mengapa WALHI menyerukan penghentian terhadap tambang bawah tanah. Apa rekomendasi terhadap keberadaan PT. Freeport?

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KSPMI-KSPI)
Sejauh mana kesejahteraan dan keselamatan buruh dijamin oleh korporasi-korporasi raksasa sekelas Freeport? Bagaimana hubungan gerakan buruh dengan kelangsungan ekologi, belajar dari kasus PT. Freeport? Apa rekomendasi terhadap keberadaan PT. Freeport?

Penanggap:


Ridwan Darmawan, Institute Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)

Sebesar apa kekuasaan PT. Freeport, dan apa hubungan korporasi tersebut dengan pemerintah Jakarta dan militer dalam penyingkiran sistematis masyarakat Papua. Apa rekomendasi terhadap keberadaan PT. Freeport?

Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh
Apa pandangan terhadap terjadinya diskriminasi kerja di Freeport antara orang Papua dan pendatang? Solidaritas seperti apa yang dapat dibangun antar gerakan buruh di Papua dan Indonesia sekaligus solidaritas terhadap pelanggaran HAM yang terjadi terhadap rakyat Papua secara umum? Apa rekomendasi terhadap keberadaan PT. Freeport?
 

Kompolnas Akan ke Papua Terkait Penembakan, Penangkapan dan Pelarangan Aksi Damai di Papua

Foto: Doc.NAPAS
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan mendatangi ke Tanah Papua terkait aksi penembakan di Aimas Kabupaten Sorong, penangkapan sewenang-wenang dan pelarangan aksi damai oleh Aparat Kepolisian beberapa Kota di Tanah Papua sejak  30 April dan 1-23 Mei 2013. Sekretaris Kompolnas  Irjen Pol (Purn) Drs. Logan Siahaan saat bertemu Perwakilan National Papua Solidarity (Naspas) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) di Kantor Kompolnas mengatakan “ untuk menikdak lanjuti laporan ini, Kompolnas akan mendatangi Papua”. Jika ada penembakan yang mengakibatkan mengorbankan warga sipil harus ditindak tegas karena ini melecehkan kepolisiaan” Ungkap Sekretaris Kompolnas. Lebih lanjut ia juga mengatakan “saya jamin kalau penangkapan tanpa bukti yang jelas, polisi itu harus ditangkap” Tegas Siahaan.
Penegasan itu disampaikan saat National Papua Solidarity (Naspas) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengadukan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Irjen (Pol) Tito Karnavian ke Kompolnas atas tindakan penembakan, penyiksaan, penangkapan seweng-wenang dan pelarangan aksi damai yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian di Tanah Papua. Pengaduan dilakukan pada hari ini, Kamis 23 Mei 2013, pukul 11.00 WIB, pertemuan berlangsung selama 1 jam 20 menit  (11.00-12.20 WIB) di Kantor Kompolnas Kemayoran Jakarta Selatan. Perlu diketahui bahwa sejak 30 April sampai 23 Mei 2013 ada 31 orang menjadi korban kekerasan Aparat Kepolisian. Dari 31 orang ini 3 orang diantaranya tewas tertembak di Aimas Kabupaten Sorong dan 28 Orang lainnya ditangkap hanya karena melakukan aksi damai. Selain itu juga, kemarin siang 23/5) pukul 12.00-18.00 WIT terjadi kepada Yason Ngelia ketua BEM FISIP Uncen Jayapura, terkait perannya sebagai kordinator lapangan pada aksi 13 Mei 2013 di depan kamus Uncen Waena. Interogasi terhadap Yason Ngelia dilakukan tanpa surat pemanggilan. Penangkapan warga sipil tanpa melalui prosedur ini terjadi di beberapa Kota di Papua yakni Kabupaten Sorong, Biak, Mimika dan Kota Jayapura. Pembungkaman ruang demokrasi di Tanah Papua dimana warga dilarangan melakukan aksi damai pada tanggal 1, 13 dan 24 Mei 2013.
Saat pertemuan berlangsung Sekretaris Kompolnas Irjen Pol (Purn) Drs. Logan Siahaan menelpon Kapolda Papua Irjen (Pol) Tito Karnavian untuk menyanyakan langsung atas laporan kekerasan di Tanah Papua, namun HP nya tidak diangkat.  
 

Hentikan Pelarangan Aksi Damai, Pembubaran Paksa dan Penangkapan Sewenang-wenang Warga Sipil Papua

Press Release Bersama :  
HENTIKAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA,
KAPOLDA PAPUA  HARUS BERTANGGUNG JAWAB
Hentikan Pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil Papua yang menyampaikan pendapat secara damai.  

Kami mencatat, sejak 30 April sampai 22 Mei 2013, telah terjadi serangkain kekerasan yang massif berupa penembakan, penghilangan paksa, pembunuhan, pelarangan dan pembubaran paksa massa aksi hingga penangkapan dan penahanan yang disertai dengan penyiksaan dibeberapa tempat; Biak, Sorong, Timika dan Puncak Jaya. Tindakan aparat keamanan ini telah mengakibatkan 3 orang tewas ditembak, 2 orang luka-luka dan 26 orang ditangkap (6 orang telah dibebaskan pada tanggal 22 Mei).  Mereka yang menjadi korban adalah warga sipil biasa yang dituduh anggota OPM, mahasiswa yang melakukan demontrasi menyikapi tindakan refresif aparat keamanan. (lihat lampiran).

Demonstrasi masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi Solidaritas Peduli Penegakkan HAM (SPP HAM) yang dilakukan pada tanggal 13 Mei 2013 di Kota Jayapura dihadapi oleh aparat kepolisian dengan kekerasan. Jauh sebelumnya, pada 30 April dan 1 Mei 2013, aparat keamanan juga bertindak rerpresif terhadap warga sipil yang menewaskan 3 orang di Aimas Kabupaten Sorong dan penangkapan sewenang-wenang warga sipil di Sorong, Biak, Mimika dan Jayapura.

Aparat Kepolisian Resort Kota Jayapura (Polresta) kembali membatasi ruang ekspresi bagi warga. Mereka melarang mahasiswa melakukan mimbar bebas, memperingati 15 Tahun reformasi di Indonesia di bundaran (lingkaran) Abepura pada hari Kamis 23 Mei 2013. Selain pelarangan, mereka juga menginterogasi Yason Ngelia, penanggung jawab aksi (mimbar bebas) terkait aksi 13 Mei di depan Kampus Uncen, dia diinterogasi saat ke Kantor Polresta untuk mengecek surat tanda terima pemberitahuan dan atau mengecek surat balasan atas surat pemberitahuan aksi yang mereka ajukan sehari sebelumnya. Penginterogasian ini berlangsung selama 6 jam (12.00-18.00 WIT), tindakan ini dilakukan di luar prosedur hukum yang berlaku.

Terkait peristiwa ini, kami menilai pertama  alasan pihak kepolisian tidak mendasar karena SPP HAM bukan merupakan sebuah organisasi permanen tetapi solidaritas kemanusiaan yang dibentuk oleh aktivis HAM untuk merespon Tragedi 1 Mei yang menewaskan 3 orang warga sipil. Sehingga tidak perlu mendaftar di Kesbangpol. Selain itu, tidak ada landasan hukum bahwa aksi unjuk rasa hanya boleh dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terdaftar di Kesbangpol. Diberbagai penjuru Indonesia, selain Papua, ‘aturan’ semacam itu tidak diberlakukan.

Tindakan aparat ini juga telah membatasi hak warga untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi dasar Negara (UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, dan secara khusus diatur juga dalam  UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2. dan UU no. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi hak-hak sipil politik (pasal 19 dan 21) telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi yang dilakukan secara damai oleh setiap warganya dan negara berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan hak tersebut. Bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi diatas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memberikan perlindungan dan jaminan terpenuhinya hak atas kebebasan berekspresi bagi warga di Papua.

Kedua, pembubaran paksa aksi pada 13 Mei dan penangkapan terhadap 4 orang aktivis HAM merupakan gambaran kecil dari pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang represif dan menindas. Pembatasan ini bukan pertama kali terjadi tetapi sudah menjadi kebiasaan kepolisian. Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol. Realitas demokrasi ini menjadi langkah mundur dari 15 tahun reformasi di Indonesia.

Tindakan kekerasan melalui pembubaran paksa dilakukan oleh anggota kepolisian dari Satuan Brimobda, Dalmas Polresta dan Polda Papua. Aksi damai itu dibubarkan paksa, persis di depan halte bus Universitas Cendrawasih, Perumnas 3 Waena, sekitar pukul 10.00 WP.  Empat orang ditangkap, seorang diantaranya adalah  Markus Giban (19 thn), mengalami penganiayaan berat, dipukul dengan popor senjata hingga tangan kirinya patah dan  kini sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura. Tiga korban lainnya adalah Victor Yeimo (30 Thn), Penanggung Jawab Aksi;  Marthen Manggaprouw (30 Thn), Penanggung Jawab Aksi; Yongky Ulimpa (23 Thn), Mahasiswa Uncen, peserta aksi; Elly Kobak (17 Thn), peserta aksi.

Tindakan pembubaran paksa dan penangkapan empat aktivis HAM tersebut merupakan gambaran kecil dari upaya pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang berkarakter refresif, militeristik dan menindas. Fakta menunjukkan bahwa pembatasan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Papua, sudah menjadi tradisi institusi Kepolisian Papua. Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol. Realitas demokrasi ini menjadi langkah mundur dari 15 Tahun reformasi di Indonesia; Reformasi di Indonesia belum maju jika ruang demokrasi di Papua masih tertutup. Sebab Papua saat ini adalah wajah demokrasi Indonesia, sekaligus wajah pemerintah Indonesia dihadapan rakyat Papua.

Demi menghormati dan memajukan pemenuhan hak asasi manusia, khusunya hak atas berkumpul, berserikat dan berekspresi dan demokrasi di Papua, maka kami (KontraS dan Napas) mendesak kepada:
omisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan National Papua Solidarity (NAPAS) mengecam keras  sejumlah tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Papua.
  1. Kompolnas agar memeriksa Kapolda Papua dan Kapolres terkait tindakan pelarangan dan represi terhadap aksi damai 1 dan 13 Mei  2013 di Papua;
  2. Kapolri untuk segera menghentikan pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis HAM dan Mahasiswa serta membebaskan warga sipil yang ditahan pada tanggal 13 Mei dan semua warga sipil yang ditangkap terkait peringatan 1 Mei 2013 lalu;
  3. Pemerintah Indonesia khususnya Menteri Luar Negeri agar  memberikan akses masuk pada pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap situasi di Papua, termasuk diantaranya  akses pers dalam dan luar negeri.

Dan dalam rangka pembukaan ruang demokrasi, pemerintah juga harus mencabut semua instrument hukum dan kebijakan yang membelenggu kebebasan berorganisasi, berekspresi, mengemukakan pandangan politik secara damai di Papua.

Jakarta, 23 Mei 2013

NAPAS (Solidaritas Nasional untuk Papua)
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
 

Longsor Freeport dan Persekongkolan Jahat Pemodal-Militer-Pemerintah Atas Papua

Oleh: Zely Ariane, Koordinator National Papua Solidarity (NAPAS).
 
National Papua Solidarity (NAPAS) menyatakan duka cita mendalam atas tewasnya para pekerja peserta pelatihan standar prosedur keselamatan kerja PT Freeport Indonesia (PT. FI) di fasilitas pelatihan Big Gossan milik Freeport di Tembagapura, Mimika.

Diberitakan bahwa 38 orang telah tertimbun keruntuhan terowongan tambang bawah tanah tersebut, dan hingga saat ini 21 orang telah ditemukan meninggal, 10 orang mengalami cidera dan dalam perawatan, sementara 7 lainnya masih dalam upaya pencarian, dan kecil kemungkinan akan ditemukan selamat. Bencana longsor ini telah mengakibatkan kematian terbesar yang diketahui dalam sejarah kelongsoran tambang PT. FI.

Peristiwa ini sudah selayaknya membawa kembali perhatian masyarakat, khususnya para pekerja kemanusiaan yang peduli Papua, pada PT. Freeport dan Papua: dua nama besar yang memainkan peran penting dalam sejarah politik ekonomi Indonesia.Peristiwa ini juga terjadi di tengah rencana perpanjangan kontrak karya PT FI dan negosiasi royalti dengan pemerintah Indonesia, serta negosiasi pembaruan kontrak kerja bersama dengan para pekerja SPSI PT. FI yang sempat melakukan pemogokan di penghujung 2011 lalu untuk menuntut peningkatan upah dan keselamatan kerja.

Kita belum lupa, bahwa di dalam pemogokan tersebut Petrus Ayamseba ditembak, dan hingga saat ini proses penyidikan tidak jelas dan tak ada satupun pelaku yang ditangkap. Kita belum lupa bahwa PT Freeport Indonesia adalah perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, dan malah harus dibayar dengan kerusakan lingkungan dan memburuknya kondisi masyarakat disekitar lokasi pertambangan. Freeport telah seringkali menjadi sasaran protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannyadengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia—telah 100.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan.

Setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—ataupembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telahmerusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6milyar ton limbah industri.

Bukan kali pertama

Menurut laporan Sapariah Saturi di Mogabay-Indonesia, longsor tambang Freeport bukanlah kali pertama, dan bukan kali pertama pula kasusnya menghilang tanpa kejelasan begitu saja. Pada 23 Maret 2006 tiga pekerja perusahaan PT. Pontil, subkontraktor PT. Freeport, tewas akibat longsor di areal pertambangan. Seperti halnya kejadian longsor Big Gossan, PT. FI menyatakan bekerjasama dengan kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsong, namun hasilnya tak pernah diketahui publik. Pada 9 Oktober 2003, menurut laporan Down To Earth, longsor besar di Grasberg mengakibatkan 8 orang tewas dan 5 luka-luka.

Dinding selatan galian tambang runtuh dan 2,3 juta ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang. Ironis, karena menurut Sydney Morning Herald, Freeport sebetulnya telah mengetahui peringatan bencana namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah bahaya, padahal para pekerjapun telah memberi peringatan pada pimpinan operasi tentang potensi bahaya tersebut.Kementerian Energi dan Pertambangan membentuk tim penyelidik, namun tidak jelas siapa yang dimintai pertanggungjawaban.

Sementara Rozik B Soethibto, Presiden Direktur PT. FI, mengatakan akan melakukan penyelidikan menyeluruh pasca penyelamatan dengan melibatkan tenaga ahli internasional dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akan memastikan kejadian ini tidak terulang. Demikian pula SBY dalam pesan twitternya. Namun tak satupun dari mereka yang mengingatkan kita pada nasib penyelidikan 7 tahun sebelumnya, yang berujung tidak jelas. Tentu kita kerap mengerti bahwa dalam setiap tragedi yang menewaskan orang-orang tidak bersalah seperti ini, dimana para pemangku kepentingan dan pertanggungjawaban menjadi sorotan publik, janji-janji penyelidikan akan diumbar, dan ketika sorotan itu meredum dan menghilang, janji tinggallah janji tak bertuan.

Sekarang berbondong-bondong pejabat datang menyetor muka dan belasungkawa ke lokasi kejadian. Setelah CEO dan Presiden perusahaan induk Freeport McMoran dan Gold Inc Richard Adkerson datang ke Timika 18 Mei lalu, Tim Pemantau Otonomi Khusus Papua dan Aceh didampingi Wakil ketua DPR dan tim DPR lainnya juga tak ketinggalan berencana mengunjungi.

Terakhir dikabarkan Menteri ESDM, Jero Wacik, dan Menteri Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, ditolak kedatangannya oleh PT. FI dengan alasan proses evakuasi yang masih berlangsung. Walau SBY menyatakan akan tetap mengirimkan kedua menteri tersebut, namun tetap saja permintaan Freeport tersebut diindahkan pemerintah untuk tak segera mendatangani lokasi kejadian tersebut. Memang kuasa Freeport sudah seperti negara di dalam negara, apalagi jika kita usut sejarahnya berikut ini.

‘Tembaga, Emas dan Minyak Berdarah’

Sengketa politik Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada dihadapan kita saat ini.

Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral Ore di Ertsberg tahun 1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papuamasa kini. Perlu diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah kemerdekaan defacto tahun 1945—seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia di tahun 1928.Belanda mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949, dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.

Erstberg yang sempat terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat pun turut mengambil kesempatan secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg. Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan, dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat West New Guinea) pada Indonesia[1].Hasilnya “integrasi” Papua ke Indonesia, didalam todongan senjata, melalui yang dianggap sebagai jajak pendapat (PEPERA) 1969 yang diikuti sekitar 1026 ( orang Papua dewasa dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat itu.

Kita ingat dua tahun sebelum PEPERA, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam konteks politik Indonesia peristiwa ini dapat terjadi setelah Soeharto-Orde baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis Indoensia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum? Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya diketemukan tahun 1936 di areal wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika Serikat, Belanda dan Inggrislah pemain-pemainnya, sementara di saat yang sama wilayah-wilayah lain Indonesia pun menjadi permainan ekonomi keruk negara-negara semacam itu.

PEPERA adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua.Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.Diantara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.

Dalam seting semacam itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber daya Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62% tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72% telah mengalami deforestasi—terbesar dari semua wilayah.

Akumulasi profit diatas pelanggaran HAM

Grasberg milik PT FI adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporannya tahun 2010 keuntungan yang didapat PT FI sebesar RP. 4000 trilyun. Terakhir eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi (royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar USD. Sementara gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti, kepala komunikasi korporat PT. FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg tahun 2013 ditargetkan naik 39,2%menjadi 1,2 juta ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013 dipatok meningkat menjadi 58,5% menjadi 1,1 miliar pound dibanding sebelumnya 694 juta pound.

Dalam situasi itu, berbicara Freeport, bahkan juga seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalamroad map MP3EI, tak boleh dilepaslan dari tinjauan sejarah, seting sosial budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan lagi pembicaraan terkait ekonomi ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi.

Sejarah masuknya Freeport adalah jejak perampasan, pendudukan, kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari P. Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orba. Di tahun 1990-an di sekitar area tersebut populasi membuncah menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat TImika menjadi “zona ekonomi” yang tumbuh paling cepat di seluruh nusantara (culturalsurvival.org). Satu persen royalti masyarakat asli adalah kembang gula yang tidak jelas dan pada prakteknya ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.

Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengamcaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber2 kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.

Sebagian besar dari kejahatan ini–termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan–merupakan produk dari operasi pertambangan Freeport. Dan kejahatan lainnya–seperti kekerasan–adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat. Saat ini tak satupun data bisa dengan dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua. Yang tentara organik dan non organik bertambah, pasti pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah[4], orang-orang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi setidaknya 29 orang. Sehingga tampak jelas, reformasi yang sudah 15 tahun di Indonesia tidak berlaku di Papua.

Di dalam seting ekonomi politik seperti inilah longsor Big Gossan terjadi. Kematian 21 orang adalah yang terbesar dalam sejarah keselamatan kerja Freeport yang kita ketahui. Sehingga Freeport, sebagai yang paling monumental daya rusak sosial dan ekologinya, tak bisa tidak, harus segera dikontrol melalui penghentian operasi untuk audit keseluruhan terkait pelanggaran HAM dan ekologi yang dilakukannya. Siapa yang bisa melakukannya? Yang pasti bukan pemerintah Jakarta saat ini, otonomi khusus, pemekaran, UP4B maupun otonomi khusus plus ala Lucas Enembe dan SBY, melainkan rakyat Papua sendiri yang bersatu dan berkehendak secara politik.***
 

Press Release Bersama 15 TAHUN REFORMASI DI INDONESIA: AKUTNYA REPRESI DAN KEKERASAN NEGARA DI PAPUA

Press Release Bersama

KontraS dan Napas mengecam keras  tindakan pelarangan aksi damai yang dilakukan oleh Kapolda Papua terhadap aksi yang belakangan ini dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat Papua, meski prosedur pemberitahuan atas aksi tersebut sudah dipenuhi oleh para peserta aksi.

Berdasarkan informasi yang kami peroleh,  alasan pembubaran paksa oleh pihak kepolisian terhadap aksi itu karena tidak ada surat izin melaksanakan demonstrasi. Namun, fakta menunjukkan bahwa pada hari Rabu, 8 Mei panitia penyelenggara sudah mengajukan surat pemberitahuan bernomor: 00/SP/PAN-SPHAM-UTSN/V/2013. Sayangnya, surat pemberitahuan itu tidak ditanggapi yang kemudian  direspon oleh pihak Polda Papua dengan menolak mengeluarkan surat tanda terima. Alasan mereka yaitu bahwa SPP HAM sebagai organisasi pelaksana aksi tidak memiliki AD/ART dan tidak terdaftar pada Badan Kesbangpol Provinsi Papua.

Kami menilai bahwa alasan kepolisian diatas menunjukkan alasan yang tidak logis dan terkesan dibuat-buat.  Hal ini karena SPP HAM hanya sebuah kepanitiaan, bukan merupakan organisasi permanen. Sebagai kepanitiaan yang dibentuk para aktivis HAM dan Demokrasi, tentu SPP HAM  hanya bersifat sementara, sehingga tidak perlu mendaftar di Kesbangpol. SPP HAM hanya sebagai sebuah komite aksi yang bersolidaritas pada sesama rakyat Papua, atas nama kemanusiaan dan keadilan merespon Tragedi Kekerasan Negara pada peringatan 1 Mei lalu. Di sisi lain, dinamika seperti ini banyak ditemui, namun tidak menjadi hambatan bagi kelompok aksi seperti SPP HAM dalam menyuarakan hak atas kebebasan berekspresinya.

Tindakan pelarangan oleh Kapolda Papua merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi  yang diusung dan dijamin pemenuhannya oleh standar Hak asasi Manusia internasional. UUD 1945 sebagai aturan tertinggi (Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1),   UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, Pasal 1 dan 2) dan UU no. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi hak-hak sipil politik (pasal 19 dan 21) telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi yang dilakukan secara damai oleh setiap warganya dan negara berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan hak tersebut. Bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi diatas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memberikan perlindungan dan jaminan terpenuhinya hak atas kebebasan berekspresi bagi warga di Papua.

Pemerintah Indonesia saat ini adalah pemerintah yang terbentuk setelah ruang-ruang demokrasi di seantero Indonesia dibuka oleh unsur-unsur kekuatan demokratik yang bergerak menggulingkan rejim kapitalisti-militeristik Orde Baru. SBY-Boediono rejim di era reformasi dan diusung oleh partai bertajuk demokrasi. Tapi kenapa di saat seluruh wilayah Indonesia bisa lebih banyak menghirup kebebasan berdemokrasi, di tanah Papua justru ketertutupan ruang ekpresi politik dan trauma kekerasan masa lalu masih menjadi kawan kekinian.

Sementara itu, fakta dilapangan menunjukkan aksi damai yang dilakukan kemudian juga direspon oleh pihak kepolisian dengan tindakan militeristik. Demonstrasi masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi Solidaritas Peduli Penegakkan HAM (SPP HAM) yang dilakukan pada tanggal 13 Mei 2013 di Kota Jayapura dihadapi oleh aparat kepolisian dengan kekerasan. Unjuk rasa yang dimulai sekitar pukul 08.30 waktu Papua (WP) dengan titik kumpul di  depan Kampus Universitas Cendrawasih (Uncen) Waena, Kampus Uncen Abepura, depan taman Budaya Expo Waena, dan Distrik Heram itu digelar untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas tewasnya 3 orang warga sipil di Aimas Kabupaten Sorong serta penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil di Sorong, Biak, Mimika juga Jayapura pada 30 April dan 1 Mei 2013. 

Tindakan kekerasan melalui pembubaran paksa dilakukan oleh anggota kepolisian dari Satuan Brimobda, Dalmas Polresta dan Polda Papua. Aksi damai itu dibubarkan paksa, persis di depan halte bus Universitas Cendrawasih, Perumnas 3 Waena, sekitar pukul 10.00 WP.  Empat orang ditangkap, seorang diantaranya adalah  Markus Giban (19 thn), alami penganiayaan berat, dipukul dengan popor senjata hingga tangan kirinya patah dan  kini sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura. Tiga korban lainnya adalah Victor Yeimo (30 Thn), Penanggung Jawab Aksi;  Marthen Manggaprouw (30 Thn), Penanggung Jawab Aksi; Yongky Ulimpa (23 Thn),  Mahasiswa Uncen, peserta aksi; Elly Kobak (17 Thn), peserta aksi.

Tindakan pembubaran paksa dan penangkapan empat aktivis HAM tersebut merupakan gambaran kecil dari upaya pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang berkarakter refresif, militeristik dan menindas. Fakta menunjukkan bahwa pembatasan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Papua, sudah menjadi tradisi institusi Kepolisian Papua. Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol. Realitas demokrasi ini menjadi langkah mundur dari 15 Tahun reformasi di Indonesia; Reformasi di Indonesia belum maju jika ruang demokrasi di Papua masih tertutup. Sebab Papua saat ini adalah wajah demokrasi Indonesia, sekaligus wajah pemerintah Indonesia dihadapan rakyat Papua.

Demi menghormati dan memajukan pemenuhan hak asasi manusia, khusunya hak atas berkumpul, berserikat dan berekspresi dan demokrasi di Papua, maka kami (KontraS dan Napas) mendesak kepada:

    Kapolri untuk segera menghentikan pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis HAM dan Mahasiswa serta membebaskan 4 orang warga sipil yang ditahan pada tanggal 13 Mei dan semua warga sipil yang ditangkap terkait peringatan 1 Mei 2013 lalu;

    Pemerintah Indonesia khususnya Menteri Luar Negeri untuk  memberikan akses masuk pada pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap situasi di Papua, termasuk diantaranya  akses pers dalam dan luar negeri.

    Dalam rangka pembukaan ruang demokrasi, pemerintah juga harus mencabut semua instrument hukum dan kebijakan yang membelenggu kebebasan berorganisasi, berekspresi, mengemukakan pandangan politik secara damai di Papua.
Jakarta, 14 Mei 2013
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)

NAPAS (Solidaritas Nasional untuk Papua)
 

Hadiah 15 Tahun Reformasi, Di Papua: Semakin Tinggi Represi, Semakin Banyak Dipaksa Masuk Jeruji

Hadiah 15 Tahun Reformasi Indonesia.
Di Papua: Semakin Tinggi Represi, Semakin Banyak Dipaksa Masuk Jeruji


Solidaritas Peduli Penegakkan HAM (SPP HAM) melakukan aksi pada hari ini di Kota Jayapura. Aksi ini bertujuan untuk menuntut pertanggung jawaban negara atas tewasnya 3 orang warga sipil di Aimas Kabupaten Sorong dan penangkapan seweng-wenang terhadap warga sipil di Sorong, Biak, Mimika dan Jayapura pada 30 April dan 1 Mei 2013. Aksi tersebut dimulai sekitar pukul 08.30 Waktu Papua (WP) di depan Kampus Universitas Cendrawasih (Uncen) Waena dan Kampus Uncen Abepura serta di depan taman Budaya Expo Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura.

Aksi tersebut dibubarkan paksa oleh Aparat Kepolisian (Brimob dan Dalmas Polresta dan Polda Papua) dan menangkap 4 orang massa aksi, selain itu mereka juga menyiksa seorang MahasiswaUncen. Aksi penangkapan dan penyiksaan ini terjadi  di depan halte bus Universitas Cendrawasih Perumnas 3 Waena Jayapura pada hari ini (13 Mei 2013) sekitar pukul 10.00 WP. 

Nama-nama empat orang  yang ditahan dan seorang yang disiksa adalah sebagai berikut:
  1. Victor Yeimo 30 Thn (Penanggung JawabAksi), 
  2. Marthen Manggaprouw 30 Thn (Penanggung Jawab Aksi), 
  3. Yongky Ulimpa 23 Thn Mahasiswa Uncen (Peserta Aksi), 
  4. Elly Kobak 17 Thn (Peserta Aksi) 
  5. MarkusGiban Mahasiwa Uncen 19 Th (dipukul dengan popor senjata dan patah tangan kiri)sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura.

Mereka dibubarkan paksa dengan alasan bahwa aksi tersebut tidak ada surat izin dari kepolisian. Sebelumnya pada Rabu 8 Mei panitia aksi Solidaritas Peduli Penegakkan HAM telah mengajukan surat pemberitahuan aksi damai (Surat bernomor 00/SP/PAN-SPHAM-UTSN/V/2013) kepada Polda Papua namun ditolak dengan alasan Solidaritas Kemanusiann tidak memiliki AD/ART dan terdaftar di Badan Kesbangpol Provinsi Papua.

Kami menilai alasan ini tidak mendasar karena SPP HAM bukan merupakan organisasi permanen tetapi sebuah wadah solidaritas kemanusiaan yang dibentuk oleh masyarakat dan aktivis HAM untuk merespon Tragedi 1 Mei yang menewaskan 3 orang warga sipil, sehingga tidak perlu mendaftar di Kesbangpol. Aksi aparat ini juga telah membatasi hak warga untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh konstitusi dasar Negara (UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, dan secara khusus diatur juga dalam  UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2).

Pembubaran paksa aksi pada hari ini dan penangkapan terhadap 4 orang aktivis HAM merupakan gamabaran kecil dari pembungkaman ruang demokrasi oleh pemerintahan yang refresif dan menindas. Pembatasan ini bukan baru pertama kali terjadi tetapi sudah menjadi kebiasaan kepolisian Indonesia di Papua sekian kalinya. Hal ini menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol. Realitas demokrasi ini menjadi langkah mundur dari 15 Tahun reformasi di Indonesia; Reformasi di Indonesia belum maju jika di Papua masih tertutup ruang demokrasi.

Untuk menghormati hak asasi manusia dan pemajuan demokrasi di Papua serta Indonesia maka kami National Papua Solidarity (Napas) mendesak dan menuntut kepada Pemerintah untuk:


  1. Hentikan pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis HAM dan Mahasiswa.
  2. Bebaskan penangkapan atas 4 orang Warga Sipi.
  3. Buka ruang demokrasi bagi rakyat Papua.

Demikian Pernyataan Sikap ini kami buat dan atas perhatian dan kerja samanya diucapkan terimakasih.


                                                            Jakarta, 13 Mei 2013

--------------------------------------------------------------------------------------------
Hal      : Laporan singkat Pemantauan Aksi 13 Mei2013 di Jayapura

Solidaritas Peduli Penegakkan HAM (SPP HAM) (selanjutnya disebut SPP HAM ) melakukan aksi di Kota Madya Jayapura Ibu Kota Provinsi Papua pada hari ini (13 Mei 2013). Aksi dimulai pada pukul 08.30 WP (Waktu Papua) di tiga tempat yang berbeda yakni di depan kampus Universitas Cendrawasih Perumnas 3 Waena, Expo Budaya Waena dan Depan Gedung Administrasi Universitas Cendrawasih Abepura. Konsentrasi masa aksi berada di tiga tempat itu dan rencananya akan melakukan long march ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berada kurang lebih 4 KM dari Kampus Universitas Cendrawasih Waena Jayapura. Aksi ini bertujuan untuk mendesak dan meminta kepada Pemerintah untuk menuntaskan kasus penembakan dan penangkapan warga sipil Papua pada 30 dan 1 Mei 2013 lalu di Kota Sorong, Biak, Mimika dan Jayapura. Sasaran aksi yang hendak dituju adalah KantorMajelis Rakyat Papua (MRP).

Aksi SPP HAM tersebut, dibubarkan paksa oleh aparat Kepolisian (Brimob dan Dalmas) Polresta dan Polda Papua pada pukul 10.00 WP. Selain dibubarkan paksa, mereka (aparatkepolisian ) juga menangkap 4 orang pimpinan aksi di depan Halte Bus UncenWaena. Nama dan peran emapat orang yang ditangkap adalah sebagai berikut:

  1. VictorYeimo 30 Thn (Penanggung Jawab Aksi)
  2. Marthen Manggaprouw 30 Thn (Penanggung Jawab Aksi)
  3. Yongky Ulimpa 23 Thn Mahasiswa Uncen (Peserta Aksi)
  4. Elly Kobak 17 Thn (Peserta Aksi)
  5. Markus Giban, Mahasiwa Uncen, 19 Th (dipukul dengan popor senjata dan patah tangan kiri)sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura.

Menurut kepolisian aksi dibubarkan paksa karena tidak ada surat tanda terima dari Kepolisian dan juga organisasi solidaritas tidak terdaftar di Kesbangkpol. Penolakan itu disampaikan melalui surat kepolisian bernomor (B/39/V/2013/ Dit Intelkam) yang ditujukan kepada Victor Yeimo, pada 10 Mei 2013. Surat Intelkam Polda Papua tersebut sebagai balasan atas surat pemberitahuan aksi yang disampaikan SPP HAM pada tanggal 8 Mei 2013.

Alat-alat yang dibawa Aparat Kepolisian saat Aksi:

  1. 2 Buah Mobil Brakuda
  2. 1 Buah panser
  3. 18 buah Truk Polisi
  4. Senjata dan gas air mata


Rangkaian kekerasan, teror, intimidasi, pembunuhan oleh aparat akibat paranoidnya negara atas ekspresi rakyat Papua, telah menjadi bukti, bahwa rezim hari ini dibawah naungan SBY, gagal menjalankan amanat reformasi.

Untuk itu, solidaritas tanpa batas dari seluruh kalangan pro demokrasi sangat diperlukan, dengan cara memberi kecaman kepada Kapolda Papua Irjen Tito Karnavian 0811950376 dan Kepala Intelkam Bambang di 082198036771.

Viva Papua, rakyat bersatu tak bisa dikalahakan !







 

Diskusi Interaktif "Pembebasan Tahanan Politik sebagai Agenda Damai Papua"

Ayo dukung dan hadiri acara diskusi interaktif sekaligus aksi damai mendukung pembebasan tapol-napol Papua. Diskusi ini akan berlansung: 

16 Mei 2013 11:00 - 15:00 WIB, di Jl. Borobudur No. 14 Menteng, 10320
Tidak ada demokrasi di Indonesia, tanpa kebebasan berekspresi dan berposisi di Papua | Tak boleh ada pemenjaraan atas dasar sikap politik.

Acara:
11.00 - 11.05: Pembukaan dan lagu 'Satu Papua';

11.05 - 11:20: Perkenalan dan demo website orang-orang Papua dalam jeruji http://www.papuansbehindbars.org/; penyerahan buletin orang-orang Papua dalam jeruji pada anak tapol Papua dan mantan tapol Indonesia.

11.20 - 11.25: Lagu Jeruji

11.25 - 13.15: Diskusi interaktif bersama Albert Hasibuan (Dewan Pertimbangan Presiden bid. Hukum & HAM); Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan HAM); Haris Azhar (Koordinator KONTRAS); Peneas Lokbere (Koordinator Bersatu untuk Kebenaran-BUK), dan Dirjen Lapas.

13.15 - 13.30: Penutup

13.30 - 14.30: Makan Siang

14:30 - 15.30: Aksi solidaritas pembebasan TAPOL-NAPOL

15.30 - 17.o0: Aksi Kamisan bersama jaringan Solidaritas Keluarga Korban
___________

Latar Belakang

Keberadaan Tapol merupakan kendala utama untuk membangun saling percaya antara warga Papua dengan pemerintah di Jakarta. Penelitian LIPI dalam buku Road Map Papua memberi rekomendasi bahwa pembebasan Tapol/Napol adalah sebuah prasyarat untuk dialog damai dan membangun kepercayaan diantara kedua belah pihak. Namun pemerintah justru menolak keberadaan Tapol/Napol di Papua dan menganggapnya sebagai tahanan kriminal. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin saat melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) Abepura Jayapura, 5 Maret 2011, menyatakan bahwa tidak ada tahanan politik di Papua, hal tersebut juga dipertegas oleh pernyataan menteri Koordinator Politik dan hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.

Padahal keberadaan Para Tapol tersebut telah menjadi sorotan masyarakat International. Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) pada 23/5/2012 di Jenewa, keberadaan para Tapol/napol Papua juga menjadi sorotan dalam forum tersebut.

Selain proses politik dan hukum, perlakuan kemanusiaan atas para Tapol dalam tahanan juga sangat memprihatinkan. Beberapa Tapol/Napol yang sakit tidak mendapat perhatian dari pemerintah seperti yang dialami oleh Kimanus Wenda, seorang Tapol yang divonis 20 tahun dalam kasus Wamena. Menurut dokter, Kimanus menderita Tumor pada perut sehingga dirujuk ke Rumah Sakit Jayapura. KontraS dan perwakilan dari Papua bertemu Wakil Menteri Hukum dan HAM agar Kimanus mendapatkan perawatan yang layak. Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM, “Kimanus Wenda akan dibiayai Pemerintah, Negara punya dana, apalagi tahanan Politik. Saya akan berupaya”. Namun pernyataan pejabat pemerintah itu ternyata tidak terbukti dilapangan.

Menyikapi agenda damai Papua, Amnesty/Pembebasan Tapol/Napol bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kepercayaan dan menjadi bagian dari dialog damai antara Papua dan pemerintah. Dalam kerangka itu National Papua Solidarity (NAPAS) dan KontraS akan mengadakan sebuah diskusi bertemakan:

”Pembebasan Tahanan Politik Sebagai Agenda Damai Papua ”.

Acara ini juga sebagai bagian dari launching situs http://www.papuansbehindbars.org/ sebuah situs untuk mengampanyekan situasi dan kondisi para Tapol dan Napol Papua yang jauh dari pemberitaan media. Dengan situs ini diharapkan publik dapat menaruh perhatian pada nasib Tapol/Napol Papua dan meminta pemerintah Indonesia untuk berdialog untuk membebaskan semua Tapol/Napol tanpa syarat, sebagai pertanda komitmen pemerintah pada HAM dan reformasi.
 

Press Release : SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA



SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA (SKP- HAM PAPUA)
Alamat: Jl. Raya Sentani No. 67B, Sosial Padangbulan, Jayapura-Papua. Email:  skphampapua@gmail.com


Press Release

Photo: tabloidjubi.com
Kekerasan oleh TNI/POLRI dalam bentuk pembunuhan kilat, dan penahanan secara sewenang- wenang terhadap masyarakat asli Papua yang mengekspresikan keinginan politik lewat ibadah, dan pengibaran bendera, jika dirunutkan dari kasus yang terjadi di Papua, maka cara ini telah menjadi sebuah pola yang berulang- ulang, sistematis, dan secara sengaja dilegalisasi di dalam institusi TNI/Polri untuk terus menerus digunakan sebagai strategi pembukaman bagi setiap ekspresi yang dilakukan oleh masyarakat asli Papua  yang mengusung isu yang dianggap membahayakan keutuhan NKRI.

Bentuk dan model pengulangan pola kekerasan yang berujung pada pembunuhan kilat dan penahan secara sewenang- wenang ini adalah :
  • Menjustifikasi kelompok sipil yang berbeda padandangan sebagai OPM atau separatis, jadi secara sah harus dibunuh.
  • Tidak mengeluarkan ijin untuk melakukan kegiatan keramaian, jadi ada alasan untuk melakukan pembubaran paksa yang disertai dengan penangkapan dan penahanan.
  • Mematai- matai, dan meneror pimpinan atau kelompok- kelompok warga asli Papua yang telah dicurigai dengan meciptakan berbagai alasan dan opini.
  • Untuk melakukan tindakan aparat TNI/Polri secara bebas tanpa prosedur hukum dan membelokkan opini, pemerintah  menutup akses internasional yakni: jurnalis asing, membatasi pelapor PBB bidang anti penyiksaan masuk ke Papua, serta melarang dan pulangkan LSM internasional, seperti Palang Merah Internasional, Face Brigader Internasional (PBI) dan sebagainya berada di Papua.
Pola perulangan yang berkaitan dengan pembunuhan dan penahanan masyarakat sipil secara sewenang- wenang ini dapat dilihat pada Kasus Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus (2011), Kasus pembunuhan dan penangkapan terhadap aktivis KNPB secara berturut- turut (2012), dan Catatan KontraS, untuk tahun 2013, ada 700 kasus kekerasan di Papua. Di mana 100 di antaranya merupakan peristiwa penembakan dengan 45 orang tewas. (http://news.okezone.com/read/2013/05/04/339/802251/kontras-kecam-penembakan-warga-di-sorong).

Sebagai Negara demokrasi, Indonesia telah mengakui HAM warga negaranya didalam UUD’45, UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Selain itu ada ratifikasi instrumen  internasional, seperti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Regarding Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Ratifikasi terhadap Konvenan Hak- hak Sipil dan Politik, menjadi UU No. 12 Tahun 2005. Walaupun demikian, tak ada satupun dari berbagi intrumen ini yang berlaku efektif, baik dari sisi penegakan maupun penerapannya.

Karena itu dengan melihat peristiwa kasus penembakan di Aimas, Kabupaten Sorong yang menewaskan 2 orang, yakni Abner Malagawak, 22 thn dan Thomas Blesia, 22 thn;  melukai 3 orang, yakni Salomina Klaigin (31 Thn), Herman Lokmen (18 Thn), dan Andreas Safisa (32 Thn), serta penangkapan 7 orang yang sampai saat ini masih ditahan di Polreta Kabupaten Sorong, juga beberapa kasus yang terjadi di Biak, Timika, dan Serui, menjelang tanggal 31 April dan 1 Mei 2013, maka kami SKP-HAM Papua  mendesak dan menyerukan :
  1. Kepada Negara- negara yang memberikan fasilitas dan pelatihan bagi TNI/Polri Indonesia, seperti Amerika, Inggris, Australia, dan New Zeland, agar segera menghentikan bantuan dan kerja sama militer tersebut. Mengingat berbagai bantuan tersebut, digunakan untuk membunuh masyarakat sipil di Papua.
  2. Mendesak Pemerintah Indonesia, agar segera membentuk KPP HAM independen untuk menyelidiki adanya pelanggaran HAM pada peristiwa Penembakan di Aimas, Kabupaten Sorong dan segera menyeret pelakunya ke meja hijau.
  3. Sebagai tanggungjawab komando atas kelalaian yang dilakukan oleh bawahannya, Kapolri dan Kapolda Papua harus segera mencopot Kapolres Kab. Sorong atas tindakan yang telah dilakukan oleh bawahannya.
  4. Mendesak kepada Kapolda Papua, untuk segera membebaskan warga yang ditangkap pada aksi damai 1 Mei 2013, baik yang ada di Sorong, Biak, dan Timika, karena adanya jaminan kebebasan berekspresi yang telah diatur didalam konstitusi Negara ini, beserta intrumen internasional yang sudah di ratifikasi oleh Indonesia.
  5. Terkait dengan pemberitaan atas kasus yang terjadi di Aimas, Kab Sorong, kami meminta kepada pers nasional dan local di Papua, agar memberikaan pemberitaan yang lebih objektif, transpran, dan tidak parsial, dengan mengedepankan prinsip- prinsip pers yang sudah tertuang dalam kode etik jurnalis. Karena dengan pemberitaan yang benar, berbagai persoalan HAM yang terjadi di Papua dapat dicerna secara baik oleh Pemerintah dan public nasional, serta internasional, sehingga solusi bagi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang bisa ditemui.
  6. Segera membuka ruang bagi media internasional dan Pelapor Khusus PBB di bidang anti penyiksaan untuk segera mengunjungi Papua, untuk mengukur dan mengevaluasi sampai sejauh mana pemenuhan hak- hak sipil dan politik masyarakat Papua yang sudah dipenuhi oleh pemerintah.
  7. Menyerukan kepada seluruh organisasi Agama yang berada di Papua, organisasi mahasiwa, Pemuda, Perempuan, pers, dan organisasi- organanisasi pendukung demokrasi di Papua, agar bersatu dan memberikan tekanan penuh kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar lebih peka dan responsive untuk menyelesaikan soal- soal di Papua secara menyeluruh dan bermartabat.
Demikian pernyataan pers ini kami buat secara sungguh- sungguh dan bertanggungjawab, demi perbaikan dan penegakan HAM di Papua. Terutama terhadap para korban yang sampai saat ini diabaikan hak- haknya oleh Pemerintah.


Jayapura, 06 Mei 2013

SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA (SKP-HAM PAPUA)



1.    DPC. GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA (GMKI)

Dance Marisan, S.Th
Ketua

2.    BEM  FISIP UNCEN
Yason Ngelia
Ketua

3.    BERSATU UNTUK KEBENARAN (BUK)

Nehemia Yarinap
Sekretaris

4.    PARLEMEN JALANAN (PARJAL)

Yusak Pakage, S.Th, SH
Anggota

5.    GERAKAN RAKYAT DEMOKRATIK PAPUA (GARDA-P)

Bovit Bofra
Ketua

6.    UKM. DEHALING UNCEN

Alex Rumbekwan
Ketua
 

Protes atas penembakan, penangkapan dan represi terhadap aksi damai 1 Mei di Papua


Pernyataan Sikap Bersama

Kami mengecam pelarangan penyelenggaraan demonstrasi memperingati 50 tahun penyerahan administrasi West New Guinea(sekarang Papua) dari UNTEA ke Indonesia, pada 1 Mei 2013 lalu oleh Polda Papua dan Gubernur Papua. Pelarangan ini telah melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 1945 dan UU 12/2005 tentang Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 19 (hak atas kebebasan berpendapat) dan pasal 21 (hak berkumpul).

Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua dan memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan Negara, bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.

Pada tanggal 30 April, di Distrik Aimas Kabupaten Sorong,rencana kegiatan perayaan 1 Mei di depan rumah salah seorang warga dengan berdoa dihentikan dengan tembakan, lebih kurang dari jarak 20M, oleh satuanaparat berkendaraan Avansa dan L200. Tindakan inilah yang memicu kemarahan warga, hingga mendatangi kendaraan tersebut. Di saat itu pula tembakan memberondong warga selama 20 menit yang menyebabkan kematian 2 warga dan 8 lainnya ditangkap. Pada 1 Mei, di Jayapura, aksi damai dan rencana doa di MakamTheys digagalkan aparat, sempat terjadi upaya penangkapan, namun berhasil melarikan diri. Di Biak, satu orang dikabarkan ditembak karena mengibarkan bendera bintang kejora di depan kantor Diklat Kab. Biak Numfor. Di Timika setidaknya 15 orang ditangkap karena aksi pengibaran bendera.

Korban dari pelarangan aksi damai 1 Mei yang bermuara pada tindakan represi dan teror tersebut adalah
  1. 2 orang meninggal di Sorong dan 1 orang ditembak di Biak—kondisi terakhir belum diketahui;
  2. Korban luka masih dirawat di rumah sakit setidaknya sebanyak 5 orang;  
  3. Hingga saat ini setidaknya tercatat 23 orang ditahan di Sorong, Jayapura dan Timika;
  4. Pembubaran paksa, represi, dan ancaman aparat melalui tembakan senjata terhadap aksi damai terjadi di hampir seluruh tempat (di Sorong, Manokwari, Jayapura, Biak, Fakfak dan Timika) dimana aksi pengibaran bendera maupun doa bersama oleh warga yang memperingati hari 1 Mei dilakukan. Sementara aksi dan konvoi yang dilakukan para pendukung integrasi tidak mendapatkan represi.
Berdasarkan situasi di atas, kami, dari berbagai elemen prosolidaritas dan solusi damai Papua, menyatakan sikap PROTES terhadap berbagaitindakan pemerintah dan aparat keamanan yang sudah melanggar hak-hak demokratik rakyat Papua yang paling mendasar: berkumpul dan berekspresi yang sudah dijamin oleh UUD 1945 dan UU 12/2005.

Pengibaran bendera yang dijadikan dalih bagi pelarangan demonstrasi sesungguhnya tidak beralasan karena represi dan penembakan yang dilakukan pada acara peringatan 1 Mei tidak melulu terkait bendera. Kambing hitambintang kejora adalah politik pemerintah SBY yang menurut kami paranoid dananti demokrasi. Seperti yang harus kita ingat, mantan Presiden Indonesia Gusdur,pada 1 Januari tahun 2000, justru memberikan hak rakyat Papua untuk mengibarkan bendera bintang kejora sebagai ekspresi kebudayaan masyarakat.

Perhatian dan pengecaman terhadap represi,penangkapan dan respon berlebihan aparat keamanan terhadap persiapan dan respon masyarakat sejak 30 April menuju 1 Mei juga telah dikeluarkan oleh KomisionerHAM PBB, Navi Pillay, pada Kamis (2/5) lalu. Ia mengatakan sejak bulan Mei 2012, PBB telah menerima 26 laporan pelanggaran HAM, termasuk 45 pembunuhan dan 27 kasus penyiksaan. HukumHAM Internasional meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi yang adil, cepat, terhadap berbagai pembunuhan dan mengadili para pelakunya.

Berbagai tindakan kekerasan Negara ini sudah pasti akan semakin merugikan proses dan kemungkinan pembangunan solusi damaibagi konflik di Papua, ditengah-tengah sodoran pemerintah pusat atas Otonomi Plus.  

Selama tidak ada jaminan atas hak demokratik rakyat di Papua untuk berkumpul dan berekspresi, selama itu pula berbagai kebijakan baru dari pemerintahan pusat tidak bisa menjadi penyelesaian dan hanya menguntungkan parapenguasa.

Dalam kesempatan ini kami menyatakan agar:
  1. Dilakukan investigasi menyeluruh terhadap peristiwa penembakan, penangkapan dan represi yang terjadi dari 30 April-1 Mei 2013;menangkap dan mengadili pelaku penembakan di Distrik Aimas, Sorong.
  2. Para aktivis yang saat ini masih ditangkap segera dibebaskan;
  3. Mencabut PP 77 tahun 2007 tentang lambangdaerah yang selama ini digunakan untuk menstigmatisasi rakyat Papua sebagai separatis,memenjarakan rakyat atas tuduhan makar, mengganggu keamanan, dlsb.
  4. Pemerintah pusat segera menghentikan pendekatan represi dan stigmatisasi separatis terhadap rakyat Papua.
  5. Peringatan 1 Mei, yaitu penyerahan administrasi Papua keIndonesia oleh UNTEA pada tahun 1963, harus mulai dijadikan momentum bagi pelurusan sejarah melalui dialog-dialog demokratik  dengan mendengarkan keragaman perspektif  diluar kerangka sejarah dominan, bukan melalui pelarangan, penembakan, penangkapan, teror dan represi.

Jakarta,4 Mei 2013

National Papua Solidarity (NAPAS),  
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan(KONTRAS) , 
Sekretariat Bersama (SEKBER Buruh), 
Politik Rakyat, 
Perempuan Mahardhika, 
Forum Mahasiswa Demokrasi (FORMAD), 
KPO-Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), 
Yayasan Pusaka
 

Paradigma “Papua” bagi Solusi Damai

Oleh Herman Katmo
Untuk memperoleh konsensus politik terkait Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya.
Sudah 50 tahun usia integrasi Papua dengan Indonesia, jika dihitung sejak 1 Mei 1963 hingga saat ini. Seumur itu juga perbedaan paradigma pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua.

Pemerintah selalu mengklaim persoalan integrasi Papua sudah final dengan momentum 1 Mei 1963 dan Pepera 1969. Namun rakyat Papua tetap meyakini dua momentum itu adalah tonggak dari sejarah gelap rakyat Papua. 
 
Evolusi perbedaan paradigma itu jelas membentuk prototipe persoalan khas yang lebih sering dikenali dari sifatnya yang antagonis: Jakarta selalu mencurigai Papua, Papua pun bersikap sebaliknya pada Jakarta.
Jika ingin menyelesaikan persoalan Papua secara damai, perlu memperhatikan aspek-aspek kegagalan kebijakan terdahulu, sebelum mengimplementasi setiap kebijakan baru untuk Papua. 

Sulitnya melahirkan konsensus politik dari rakyat Papua saat Otsus Papua pertama kali mulai akan dijalankan bisa menjadi contoh pengalaman penting bagi pemerintah, begitu juga dengan ketidakkonsistenan Jakarta dalam menjalankan produk kebijakan tersebut. 

Coba telusuri ke belakang, sebelum Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) muncul, sementara Otsus baru akan berjalan, buru-buru diinterupsi oleh Inpres No 1 Tahun 2003 yang melahirkan Provinsi Papua Barat. 

Kemudian muncul lagi Inpres No 5 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2007 yang melarang penggunaan Bintang Kejora serta Burung Mambruk sebagai atribut kebudayaan Papua.
Kemudian polemik terkait proses kelahiran Provinsi Irian Jaya Barat yang berjalan di luar bingkai UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang berujung di Mahkamah Konstitusi, rencana pemekaran Irian Jaya Tengah yang memicu perang saudara di Timika, semuanya harus dijadikan pengalaman yang berharga. 

Banyak orang Papua menilai masa pelaksanaan Otsus hampir tidak ada bedanya dengan masa sebelum Otsus karena masalah-masalah yang berdimensi khusus dan krusial justru tak banyak berubah. Malah korupsi atau penyalahgunaan uang rakyat terjadi di mana-mana sehingga semakin menguatkan kesan bahwa Otsus tidak lebih dari kebijakan politik penghamburan uang oleh Jakarta. 

UP4B dan Otonomi Plus 
 
Sementara itu keberadaan UP4B sebagai implementasi dari Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat juga bukan solusi. Jakarta selalu bersikukuh persoalan Papua hanya sebagai masalah pembangunan dan kesejahteraan, atau bahkan dikerdilkan menjadi sekadar perimbangan keuangan pusat-daerah, bagi-bagi jabatan, bagi-bagi uang atau bentuk sogokan politik lainnya.
Paradigma macam itu tersirat dalam pernyataan Ketua UP4B Bambang Darmono saat pelantikan pejabat UP4B yang mengatakan tujuan utama UP4B adalah menyinergiskan seluruh program-program percepatan pembangunan. 

Maka kehadiran UP4B langsung memicu pro kontra baru di antara masyarakat Papua maupun antara rakyat Papua dengan Pemerintah. Menariknya, baru kurang lebih setahun UP4B diluncurkan dan diberlakukan di tanah Papua, kini “Otonomi Khusus Plus” ditelurkan lagi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah pertemuan dengan Gubernur Papua Lukas Enembe, akhir April 2013. 
 
Sampai saat ini Otonomi Khusus Plus Papua (OKPP) masih sebuah barang yang tidak jelas, sampai Agustus mendatang. Bagaimana hubungan dengan UU No 21/2001? Bagaimana hubungannya dengan UP4B? Apa saja isinya? Dan seterusnya. 
 
Walau masih dipenuhi berbagai pertanyaan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan OKPP itu, hampir bisa ditebak bahwa OKPP hanya sebuah kebijakan kecil yang menjadi subordinat Otsus dan UP4B, yang fokusnya hanya pada masalah yang lebih spesifik soal kesejahteraan, tidak menyentuh esensi persoalan krusial lainnya. Sulit untuk mempercayai bahwa OKPP akan lebih berhasil dari UP4B. 
 
Butuh Inovasi dan Nurani
 
Sikap keterbukaan Presiden SBY yang ditunjukkan dengan kemauan untuk melaksanakan dialog tentu satu langkah maju. Sayangnya, sulit mempercayai bahwa dialog yang dimaksud SBY adalah seperti perundingan yang dimaksud rakyat Papua, atau dialog yang dikonsepkan Neles Tebay, Pr. Ini karena, dalam hemat saya, secara objektif, masih ada ganjalan yang menghambat realisasinya. 

Pertama, hampir dapat dipastikan tawaran dialog ini mempunyai korelasi erat dengan insiden penyerbuan oleh aparat keamanan yang mengakibatkan jatuh korban di pihak rakyat sipil pascadigelarnya Kongres Rakyat Papua III dan rentetan persoalan kekerasan yang baru saja terjadi pada 2011. 
 
Cara menangani soal yang berulang-ulang menggunakan pendekatan keamanan macam begini masih sangat membekas di nurani orang Papua. Selain itu, jika tawaran dialog ini muncul hanya sekadar sebagai sikap responsif dan pencitraan karena tekanan berbagai pihak atas tindak kekerasan aparat maka sulit menemukan gambaran komitmen politik pemerintah sebab bersifat ambigu dan eskalatif.
 
Kedua, presiden telah menegaskan dialog akan diadakan atas dasar tiga pilar, yakni NKRI, Otsus, dan UP4B. Masalahnya, soal pelurusan sejarah (proses integrasi) adalah soal krusial yang paling sering dituntut orang Papua, juga dianggap berdimensi internasional dan sudah jelas tidak akan mendapat tempat di dalam Otsus atau UP4B. 
 
Penyelesaian Papua butuh sebuah inovasi politik, bukan kebijakan politik yang sudah usang tapi terus dipaksakan. Inovasi yang dimaksud akan lahir dari sebuah komunikasi politik yang dilandasi sikap bijak, jujuran, terbuka, dan saling menghargai, dan dilandasi penghargaan atas nilai hak asasi manusia, keadilan, serta demokrasi. 

Dialog adalah satu contoh inovasi politik yang kami maksud. Tentu formatnya harus lahir dari sebuah konsensus bersama antara pemerintah Indonesia dan orang Papua. 

Untuk memperoleh konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang demokrasi harus dibuka seluasnya agar adanya kesempatan bagi seluruh masyarakat Papua mengonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk menghambat proses ini harus ditiadakan. 

Protes damai orang Papua jangan disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional. 

Seluruh pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti. Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya, demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri, ibarat kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.” 

*Penulis adalalah anggota National Papua Solidarity (Napas).
 

West Papua: Indonesian Takeover Commeration Banned

NAPAS Condemning the Ban to Commemorate the 50th Anniversary of the Transfer of Administration of West New Guinea from UNTEA to Indonesia On 1 May 1963
National Papua Solidarity (NAPAS) condemns the Papuan police decision to ban the plan to organise public demonstration in Papua to commemorate the transfer of administration of then West New Guinea (now Papua) from UNTEA to Indonesia on 1 May 1963. This decision, which was also explicitly endorsed by the Governor of Papua, breached the freedom of expression and association which is enshrined by the 1945 Indonesian Constitution.
The ban also represents a reactive, paranoid and discriminative approach of the Indonesian government that limits the exercise of the civil and political rights of Papuans. Furthermore, the decision would undermine the existing processes and initiatives to find a peaceful solution for Papua conflicts. Finally, the ban to commemorate the 50th anniversary event illustrates the Indonesian government position that aims to monopolies the interpretation of Papuan history for the sake of the state, not for Papuans.
According to the 1962 New York Agreement, the Netherlands transferred the administration over West New Guinea territory to the United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), which then passed it on to Indonesia on 1 May 1963. The four main points of the New York Agreement that we would like to highlight during this 50th anniversary are as follows:
1. The transfer was limited to “full administration responsibility,” not the transfer of sovereignty (Article XIV);
2. During the transition period, Indonesia held the primary duty to undertake “further intensification of the education of the people, of the combating of illiteracy, and of the advancement of their social, cultural and economic development” (Article XV);
3. At the end of 1969, under the supervision of the UN Secretary General, the act of free choice would be held for Papuans in order to determine its political status “whether they wish to remain with Indonesia; or whether they wish to sever their ties with Indonesia” (Article XVIII);
4. Indonesia “will honor those commitments” (Article XXII para 3) to guarantee fully the rights of Papuans, including the rights of free speech and freedom of movement and of assembly (Article XII para 1).
Reflecting this historic moment of our history, we regrettably highlight the fact that Papuans were never invited to participate in any process of the formulation and implementation of the New York Agreement either by the Netherlands, Indonesia or the United Nations. We question the extent by which the Indonesian government has fulfilled its duty to provide high quality of education, health and other public services as stipulated by the New York Agreement. Furthermore, Papuans’s rights of free speech and freedom of movement and of assembly were not fully guaranteed and protected as documented in various historical reports around this transition period.
When both the Governor of Papua and the Chief of Police of Papua deliberately ban any activities of Papuans to commemorate this historic moment, history repeats itself. Papuans’s rights of free speech of free speech and freedom of movement and of assembly were not protected and guaranteed then and now. Therefore, we question both the local authorities in Papua and the national authorities of Indonesia whether they treat Papuans as citizens or just inhabitants.
Regardless of the ban, in Jakarta, NAPAS will organize the Papuan cultural night festival “One Papua, One Struggle” to mark this anniversary. We are well aware that suppressing our memory of the past not only denies our rights and freedom but more importantly, our existence. The historical reports have already revealed that the current and ongoing Papua conflicts are rooted in the very historical date, 1 May 1963, when UNTEA transferred Papua into Indonesia. But the launching of “One Papua” has a deeper meaning. After fifty years Papuans remain divided, not united, and have not developed a strong sense of solidarity among the oppressed. Taking into account this reality, the cultural night will be an opportunity for NAPAS to reflect on the ways to unify Papua’s struggle for its liberation and to strengthen solidarity among the oppressed Papuans as well as to mark 1 May as the day to unify Papuan solidarity.
ENDS

Source: scoop.co.nz
 

Urgent message from National Papua Solidarity

Urgent message from National Papua Solidarity

Brother Budi Hernawan OFM
I received this message in the mail from Brother Budi Hernawan OFM,  Postdoctoral Fellow, Regulatory Institutions Network, ANU College of Asia and the Pacific, Australian National University.
—————————————————————————-
National Papua Solidarity (NAPAS) condemns the Papuan police decision to ban the plan to organise public demonstration in Papua to commemorate the transfer of administration of then West New Guinea (now Papua) from UNTEA to Indonesia on 1 May 1963. This decision, which was also explicitly endorsed by the Governor of Papua, breached the freedom of expression and association which is enshrined by the 1945 Indonesian Constitution. The ban also represents a reactive, paranoid and discriminative approach of the Indonesian government that limits the exercise of the civil and political rights of Papuans. Furthermore, the decision would undermine the existing processes and initiatives to find a peaceful solution for Papua conflicts. Finally, the ban to commemorate the 50th anniversary event illustrates the Indonesian government position that aims to monopolise the interpretation of Papuan history for the sake of the state, not for Papuans.
According to the 1962 New York Agreement, the Netherlands transferred the adminstration over West New Guinea territory to the United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), which then passed it on to Indonesia on 1 May 1963. The four main points of the New York Agreement that we would like to highlight during this 50th anniversary are as follows:
  1. The transfer was limited to “full administration responsibility,” not the transfer of sovereignty (Article XIV);
  2. During the transition period, Indonesia held the primary duty to undertake “further intensification of the education of the people, of the combating of illiteracy, and of the advancement of their social, cultural and economic development” (Article XV);
  3. At the end of 1969, under the supervision of the UN Secretary General, the act of free choice would be held for Papuans in order to determine its political status “whether they wish to remain with Indonesia; or whether they wish to sever their ties with Indonesia” (Article XVIII);
  4. Indonesia “will honour those commitments” (Article XXII para 3) to guarantee fully the rights of Papuans, including the rights of free speech and freedom of movement and of assembly (Article XII para 1).
Reflecting this historic moment of our history, we regrettably highlight the fact that Papuans were never invited to participate in any process of the formulation and implementation of the New York Agreement either by the Netherlands, Indonesia or the United Nations. We question the extent by which the Indonesian government has fulfilled its duty to provide high quality of education, health and other public services as stipulated by the New York Agreement. Furthermore, Papuans’s rights of free speech and freedom of movement and of assembly were not fully guaranteed and protected as documented in various historical reports around this transition period.
When both the Governor of Papua and the Chief of Police of Papua deliberately ban any activities of Papuans to commemorate this historic moment, history repeats itself. Papuans’s rights of free speech of free speech and freedom of movement and of assembly were not protected and guaranted then and now. Therefore, we question both the local authorities in Papua and the national authorities of Indonesia whether they treat Papuans as citizens or just inhabitants.
Regardless of the ban, in Jakarta, NAPAS will organise the Papuan cultural night festival “One Papua, One Struggle” to mark this anniversary. We are well aware that suppressing our memory of the past not only denies our rights and freedom but more importantly, our existence. The historical reports have already revealed that the current and ongoing Papua conflicts are rooted in the very historical date, 1 May 1963, when UNTEA transferred Papua into Indonesia. But the launching of “One Papua” has a deeper meaning. After fifty years Papuans remain divided, not united, and have not developed a strong sense of solidarity among the oppressed. Taking into account this reality, the cultural night will be an opportunity for NAPAS to reflect on the ways to unify Papua’s struggle for its liberation and to strengthen solidarity among the oppressed Papuans as well as to mark 1 May as the day to unify Papuan solidarity.
Media Contact: Zely Ariane, Chairperson of NAPAS (Mobile +62-8158126673
———————————————————————————————————-
NEWS REPORT – LINK - May 01, 2013
Jayapura & Sorong. The Indonesian government’s celebration of the 50th anniversary of the integration of Papua on Wednesday was overshadowed by pro-independence flags being raised across the region and reports of a deadly shooting of separatist activists by police.
Police allegedly killed two activists and arrested six others after reporters witnessed them raising the Free Papua Organization’s Morning Star flag on Jalan Raya Adibay, Biak, on Wednesday morning.
Please Share this. Thank You and God Bless.

 

Indonesian security forces conduct violent sweeps, detain scores ahead of mass demos in Jayapura for May 1

Indonesian police and army units have conducted heavily armed security sweeps across Jayapura ahead of mass demonstrations to commemorate the 50th Anniversary of Indonesia’s annexation of West Papua.
Thousands of members of civil society organisations are today converging on Jayapura, West Papua, to hold the demonstrations, however, reports from West Papua Media stringers on the ground in Jayapura have documented a series of brutal raids to prevent public participation in the planned rallies.
Led by a coalition of pro-independence networks including activists from the National Federated Republic of West Papua (NFRPB) and the West Papua National Committee (KNPB), the demonstrations are intended to “show a peaceful expression of continued and universal opposition to Indonesia’s colonial violence against indigenous West Papuans,” and continue to call for self-determination for Papua’s people, a basic human right now denied by Indonesia with the May 1 50-year anniversary of Papua’s annexation, according to organisers from the NFRPB.
Organisers have also called for rolling and widespread strikes, particularly amongst Papuan members of the Indonesian civil service, and for Papuan university and high school student to join the rallies and use May 1 as a “public holiday for West Papuan people’s future”.
The raids began at 0300 (3am local time) on April 30, after the new Papuan Governor Lukas Enembe endorsed a decision by Chief of the (Indonesian) Papua Police, the Australian-trained former head of the notorious counter-terror unit Detachment 88, Inspector General Tito Karnavian, to criminalise all public gatherings for May 1.  Karnavian made significant public statements in both Indonesian and Papuan press saying that he will not tolerate dissent to be publicly expressed today, despite this ban being a breach of the of freedoms of expression and association guaranteed under the Indonesian Constitution.
Police have announced to Jayapura residents and rally organisers, that if demonstrations occur, Police will first attempt to use persuasion to disperse the approach of rally participants, and if rally participants ignored persuasion, then they would use force and “destroy” any gatherings.
Organisers have reported that on top of the extra thousand heavily armed police announced by Karnavian, hundreds of heavily armed plain clothes special forces police and soldiers have arrived in the city, with most moving around on motorbikes.  In addition, hundreds of soldiers from the Indonesian Army (TNI) were yesterday witnessed riding on motorbikes whilst in full battle kit in a clear show of force and intimidation against Papuan civilians.
Several student dormitories housing rally delegates from various centres across Papua were raided by heavily armed police on April 30, allegedly including Australian-trained members of the counter-terror Detachment 88 attached to the Jayapura ResKrim (Criminal Investigation Branch), as part of a sweep to capture key organiser and West Papua National Authority Manokwari Governor Markus Yenu.  In one raid, police from ResKrim detained for 15 hours an elderly former political prisoner named Alfred Kapisa (72), beat, interrogated and subjected him to violence, because according to human rights sources, he was found with a rally flyer on his kitchen table and was suspected of being involved as an organiser.
A raid on the Manokwari student dormitory at 1442 local time, where Yenu was present with the Manokwari rally delegations, ended with police left empty-handed after the students told the police that the delegation were the student’s official guests.
After Yenu and the Manokwari delegation moved to the Mamberamo dormitory, the Abepura police chief allegedly pressured the Chairman of the GKI (Indonesian Christian Church) Synod Alberth Yocku to issue an eviction demand for delegates to vacate the dormitories, managed by the GKI.   A platoon and several carloads of heavily armed Police then arrived in the courtyard of the dormitories, and gave the delegates an hour to vacate, upon threat of arrest.  The GKI had often come under criticism from Papuan civil society, churches and even Papuan politicians in the Indonesian parliament as being no more than a puppet of Jakarta.
Meanwhile, Indonesian civil society organisation National Papua Solidarity (NAPAS) has condemned the Papuan police decision to ban public dissent, saying in a statement that the ban “represents a reactive, paranoid and discriminative approach of the Indonesian government that limits the exercise of the civil and political rights of Papuans.”
“Furthermore, the decision would undermine the existing processes and initiatives to find a peaceful solution for Papua conflicts,” NAPAS coordinator Zely Ariane said in the statement.
“The ban to commemorate the 50th anniversary event illustrates the Indonesian government position that aims to monopolies the interpretation of Papuan history for the sake of the state, not for Papuans,” Ariane said.
“When both the Governor of Papua and the Chief of Police of Papua deliberately ban any activities of Papuans to commemorate this historic moment, history repeats itself. Papuan’s rights of free speech of free speech and freedom of movement and of assembly were not protected and guaranteed then and now. Therefore, we question both the local authorities in Papua and the national authorities of Indonesia whether they treat Papuans as citizens or just inhabitants,” said Ariane.
Credible sources in Jayapura have reported to West Papua Media that members of the military and police are very wary of KNPB involvement in the 50 year anniversary demonstrations, after these sources spoke with Kopassus officers posing as ojek (motorbike taxi) drivers.  Indonesian security forces have long blamed KNPB members for major acts of violence including “unknown persons” (OTK) shootings, though no credible evidence has ever been proven.
However, organisers have reported to West Papua Media that consolidation and planning meetings for today’s commemorations were held between all participant components of Papuan civil resistance, and successfully developed an understanding for joint action, highlighting the goals of Negotiations, Referendum and Recognition as three points of an agreed campaign pathway agenda.  Additionally, all components have reaffirmed their commitment to peaceful actions and non-violence as a strategy for all civil resistance mobilisation.
Activists are pressing on with their plans to hold rallies and commemorate today’s anniversary.  Whilst activists are expecting a violent police response, they are prepared with a diversity of civil resistance and non-violence tactics to maximise the strategic backfire on Indonesian security forces.
Reports from the ground in Jayapura have detailed fears of a major escalation in repression by security forces.  Currently over a thousand police have illegally set up a camp on the Papuan land that is the gravesite of Indonesian assassinated Papuan independence hero Theys Eluay.  Human rights sources have expressed concern that this military occupation of one of Papua’s most important sacred site for self-determination and freedom expression is a deliberate provocation by the military to create outrage and potential violence in public gatherings today.
Elsewhere in Papua, unconfirmed reports have emerged from Sorong that a May 1 rally being held there has already been forcefully broken up by police.  Human rights sources have reported that two civilians, Tomas Blesia and Abner Malagawak were shot dead, and Salomina Klaibin and Herman Lokden were wounded by security force gunfire, reportedly as people gathered peacefully for the rally.  Conflicting reports have claimed that the victims were members of the West Papua National Liberation Army (TPN), but West Papua Media has not been able to independently verify this claim.

More updates will appear on West Papua Media throughout the day, and urgent breaking news will be available on our Twitter feed @westpapuamedia.  

Note: Journalists needing comment or contact numbers for speakers inside Papua are encouraged to call the West Papua Editorial team on +61401222177.    This contact is bilingual in English and Bahasa Indonesia.  The Coordinating Editor can be reached intermittently throughout the day on +61450079106, but not for immediate comment.

Source:  West Papua Media
 
 
Copyright © 2013. National Papua Solidarity - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger