You can also receive Free Email Updates:

Pesan Satu Mei dari Papua

National Papua Solidarity (NAPAS) mengucapkan selamat hari buruh sedunia, 1 Mei 2013, kepada seluruh kaum pekerja Indonesia, Papua dan dunia. Mayday kali ini adalah berkah bagi seluruh kaum pekerja Indonesia yang tetap melawan di tengah situasi serangan balik negara dalam bentuk penangguhan upah, kriminalisasi, ancaman PHK dan relokasi. Diluar semua itu, kawan-kawan buruh tetap tegak melawan membela hak-haknya yang dirampas. Kaum buruh Indonesia juga telah menunjukkan solidaritasnya terhadap pemogokan 8000-an buruh PT.Freeport di Timika, Papua, akhir tahun 2011 lalu. Walaupun tuntutan tidak berhasil sepenuhnya dimenangkan, dan penembakan terhadap salah seorang pekerja, Petrus Ayamseba, tak kunjung diselidiki sampai sekarang, namun solidaritas yang demikian adalah kekuatan yang harus terus kita pelihara.

Seperti halnya kawan-kawan buruh di Indonesia, buruh Papua juga mengalami penindasan yang sama. Dengan harga kebutuhan hidup yang sangat tinggi—sebagai contoh harga BBM saja bisa mencapai Rp.30.000/liter, upah minimum sebesar 1,710 juta rupiah tentu saja tidak cukup. Menurut data pemerintahan daerah Papua Barat sebanyak 70% dari 384.092 angkatan kerja masuk dalam hubungan kerja upahan, sementara data angkatan kerja terbaru Propinsi Papua tidak tersedia. Dari sekitar 3,6 juta total penduduk keduaPropinsi Papua, penduduk asli Papua semakin tergerus hingga tinggal 1,7 saja.Sebesar 400.000-an ribu Kepala Keluarga hidup di bawah garis kemiskinan—dan mayoritas adalah masyarakat asli Papua. Artinya, yang membedakan kaum buruh dan rakyat Papua dengan Indonesia adalah terjadinya diskriminasi yang sistematis terhadap para penduduk asli dalam hal akses kerja, upah, kondisi kerja, dst.

Papua adalah provinsi yang paling terakhir menjadi bagian Indonesia. Ia memiliki sejarah politik yang khusus, yang berbeda dengan propinsi-propinsi lain. Di tanah Papua, 1 Mei sebagai hari buruh sedunia belum diperingati dengan akbar seperti yang di lakukan kaum buruh Indonesia. Tetapi rakyat Papua juga memperingati 1 Mei sebagai hari bersejarah bagi nasib rakyat Papua. 1 Mei 1963 bagi orang Papua adalah awal bagi penderitaan panjang sejak secara administrasi diserahkan oleh PBB ke Indonesia tanpa melibatkan dan menanyakan kehendak rakyat Papua. Padahal secara sosiologis dan psikologis rakyat Papua berbeda sejarah dengan rakyat di nusantara. Masa depan rakyat Papua hingga saat ini selalu ditentukan oleh para elit penjajah dan pemodal di Belanda, Amerika Serikat, Inggris, maupun Indonesia. Sejak saat itu, sudah lebih dari 100.000-an ribu manusia Papua dibunuh.

Jadikan 1 Mei wujud penyatuan kekuatan rakyat yang berlawan

Ketika kita di Jakarta dapat memperingati 1 Mei dengan relatif aman, kawan-kawan di Papua saat ini dilarang berekspresi untuk menunjukkan sikap mereka terhadap 1 Mei oleh Kapolda. Ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI terhadap hak sipil dan politik rakyat Papua. Tindakan ini akan semakin merugikan proses dan kemungkinan pembangunan solusi damai bagi Papua. Selain itu pelarangan terhadap 1 Mei menunjukan posisi pemerintah yang secara sepihak mengintepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.

Dalam kesempatan ini, NAPAS berkehendak untuk mulai memperkenalkan kepada kawan-kawan buruh sekalian persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh rakyat Papua pada umumnya, dan kaum pekerjanya, baik pekerja di perusahaan-perusahaan maupun yang bekerja mengolah tanah-kebunnya. Persoalan itu adalah: memori penindasan sejarah, hak-hak kesejahteraan, penyingkiran atau diskriminasi masyarakat asli, dan kekerasan militer yang tak berkesudahan.

Dalam kesempatan ini, NAPAS sekaligus akan memulai kampanye Satu Papua. Kenapa Satu Papua? Selain persoalan berkepanjangan di Papua yang bermula dari 1 Mei 1963 ketika UNTEA menyerahkan Papua ke Indonesia, peluncuran Satu Papua bermakna lebih luas dari itu. Setelah 50 tahun hingga hari ini rakyat Papua terus dipecah belah oleh berbagai kebijakan politik Jakarta—otonomi khusus dan pemekaran adalah yang paling utama; yang membuat tak ada persatuan dan solidaritas antar sesama rakyat yang tertindas. Satu Papua juga bermakna penyatuan perjuangan untuk pembebasan di Papua, solidaritas antar rakyat di nusantara, dan agar setiap tanggal 1 diperingati sebagai ajang ekspresi penyatuan kekuatan rakyat Papua.

1 Mei 2013 ini adalah awal bagi solidaritas antar rakyat pekerja di seluruh Papua dan di seluruh Indonesia.

Saatnya kita mulai.

Satu Papua Satu perjuangan: Pembebasan Rakyat Tertindas

National Papua Solidarity (NAPAS)
 

NAPAS Mengecam Pelarangan Peringatan 50 Tahun pemindahan administrasi West Papua Guinea dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963

No. 19/NAPAS/stat/eks /IV/13

NAPAS Mengecam Pelarangan Peringatan 50 Tahun pemindahan administrasi West Papua Guinea dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963

National Papua Solidarity (NAPAS) mengecam keputusan pelarangan Polda Papua terkait rencana penyelenggaraan demonstrasi di Papua memperingati 50 tahun penyerahan administrasi West New Guinea (sekarang Papua) dari UNTEA ke Indonesia, 1 Mei 2013. Keputusan Polda tersebut, yang juga secara eksplisit didukung oleh Gubernur Papua, melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 1945. Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua. Lebih jauh lagi, keputusan ini akan semakin merugikan proses dan kemungkinan pembangunan solusi damai bagi konflik Papua. Selain itu pelarangan terhadap 50 tahun peringatan 1 Mei menunjukan posisi pemerintah Indonesia yang memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan negara bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.


Sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan administrasi  wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) yang hendak kami garisbawahi pada peringatan 50 tahun ini adalah sebagai berikut:
  1. Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab administrasi seluruhnya”, bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV);
  2. Selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan “intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan” (Pasal XV) ;
  3. Di akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB, diselenggarakan the act of free choice akan bagi rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan Indonesia (Pasal XVIII);
  4.  Indonesia “akan menghormati komitmen tersebut” (Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua, termasuk hak-hak atas kebebasan pendapat dan kebebasan berkumpul dan melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).

Merefleksikan momentum historis dalam sejarah Papua ini, kami dengan menyesak menggarisbawahi fakta bahwa rakyat Papua tidak pernah diundang untuk berpartisipasi dalam proses formulasi dan implementasi Perjanjian New York baik oleh Belanda, Indonesia, maupun PBB. Kami mempertanyakan sejauh mana pemerintah Indonesia memenuhi tanggung jawabnya untuk menyediakan pendidikan berkualitas, kesehatan dan layanan publik lainnya seperti yang ditetapkan oleh perjanjian tersebut. Lebih jauh lagi, hak-hak rakyat Papua untuk kebebasan berpendapat, berkumpul dan melakukan pergerakan tidak sepenuhnya dijamin dan dilindungi seperti yang dicatat oleh berbagai laporan sejarah diseputar periode transisi ini.

Ketika Gubernur Papua maupun Kapolda Papua  sengaja melarang semua aktivitas rakyat Papua yang hendak memperingati momentum historis ini, sejarah mengulang dirinya. Hak rakyat Papua atas kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul dan bergerak tidak dijamin dan dilindungi di masa itu hingga sekarang. Oleh karena itu, kami mempertanyakan baik pemerintah daerah di Papua maupun pemerintah nasional Indonesia: apakah rakyat Papua diperlakukan sebagai warga negara atau hanya penduduk.

Terlepas dari pelarangan itu, di Jakarta, NAPAS berencana menggelar Malam Budaya “Satu Papua Satu Perjuangan” untuk memperingati peristiwa ini. Kita semua tahu bahwa penindasan terhadap memori sejarah masa lalu tak saja melanggar hak-hak kita dan kebebasan tetapi yang lebih penting, keberadaan kita. Laporan-laporan historis telah menunjukkan bahwa konflik Papua dan yang terus berlanjuta sampai saat ini berakar pada tanggal yang paling bersejarah, 1 May 1963, ketika UNTEA menyerahkan Papua pada Indonesia. Namun peluncuran Satu Papua bermakna lebih luas dari itu. Setelah 50 tahun hingga hari ini rakyat Papua telah dipecah belah, tidak terbangun persatuan dan solidaritas antar sesama rakyat yang tertindas. Menyadari kenyataan ini, malam budaya 1 Mei nanti bagi NAPAS suatu kesempatan untuk refleksi bagaimana menyatukan perjuangan untuk pembebasan di Papua, dan solidaritas antar rakyat di nusantara, sekaligus  agar setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai haripenyatuan kekuatan rakyat Papua.

Zely Ariane,

Kordinator NAPAS
(Mobile +62-8158126673)

 

Pernyataan Sikap : Aksi Bersama Hari Bumi

Selamatkan Bumi untuk Selamatkan Manusia; 
Selamatkan Bumi dari Koorporasi dan Pemerintah PerusakLingkungan

Persoalan lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat mendesak untuk ditanggulangi. Kualitas lingkungan hidup semakin hari semakin memburuk. Selama 150 tahun, jumlah karbon yang ada di atmosfer telah meningkat 50%, dari 280 ppm menjadi 393 ppm. Dan dampaknya, khususnya abad terakhir, telah mencata tpeningkatan suhu global, kehancuran glasier dan lapisan es, perluasan gurun dan berbagai peristiwa cuaca ekstrem.

Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global disebabkan oleh pengrusakan hutan dan eksploitasi bumi untuk bahan bakar fosil yang dikeruk (ditambang) demi profit, pencemaran air-tanah-udara akibat limbah, kekeringan dan berbagai bencana alam hingga perubahan pola konsumsi serta pola hidup manusia, adalah contoh yang dekat didepan mata kita.

Semenjak perut bumi Indonesia dikeruk untuk kepentinganakumulasi modal dan keuntungan, selama itu pula hasilnya diangkut ke luarnegeri. Rakyat hanya mendapatkan ampasnya saja dan diwarisi racun tambang berton-ton jumlahnya, di darat, laut maupun udara.Tak hanya itu saja, industri pertambangan, pada khususnya, telah merampas wilayah hidup, menghapuskan mimpidan cita-cita generasi masa depan, hingga merenggut jutaan nyawa manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Aktor Perusak Lingkungan

Pada hari bumi ini, kami mendatangi PT.Freeport sebagai simbol kapital paling besar dan paling merusak dari semua kekuatan korporasi di bumi Indonesia. Freeport sekaligus wujud kooptasikorporasi paling nyata terhadap pemerintah bahkan Negara. Kontrak Freeporttelah diperpanjang 30 tahun sejak tahun 1991, dan hendak diperpanjang lagi hingga 2041 mendatang.

PT Freeport Indonesia, perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagaipelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannyadengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia—telah 100.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan.

Setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—ataupembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telahmerusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter.Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6milyar ton limbah industri.

Kejahatan koorporasi  lainnya yang tidak pernah tersentuh oleh hukumIndonesia adalah PT. Newmount, yang telah mengusir masyarakat Buyat, dan PT. Lapindo Brantas, yang telah 7 tahun membanir-lumpurkan ekonomi, sosialdan budaya rakyat Sidoarjo. Kedua korporasi ini adalah contoh paling populer bagaimana fakta hukum dapat dipermainkan. Setali tiga uang, pemerintah sebagaipelaksana kebijakan justru membiarkan dan berpihak kepada pelaku kejahatan.

Aktor perusak lingkungan hidup tertinggi terutama adalah perusahaan di sektor pertambangan (penyebab 70% kerusakan lingkungan) dan perkebunan, disusul oleh pemerintah yang mengeluarkan izin konsesi pertambangan dan pengusahaan hutan yang semakin gila-gilaan sejak otonomi daerah (bisa ratusan per Propinsi setiap bulan). Dan perusak terbesar tentusaja kombinasi perusahaan dan pemerintah. Hingga tahun 2013 telah terdapat 2686 Ijin Usaha Pertambangan yang membabat jutaan hektar pohon dan mengeruk jutaan ton tanah untuk ekstraksi bahan galian. Dan hasilnya: 40 orang terkaya di Indonesia sebagian besar bergerak di bisnis pengerukan sumber daya alam, denganaset US$ 71 Milyar.


Pentingnya Papua

Papua adalah benteng terakhir keberlanjutan bumi geografis yang memiliki keragaman jenis flora yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia karena adanya isolasi geografi berupa jarak (hamparan dataran), serta gunung dan laut yang cukup luas. Keragaman jenisflora di Papua juga sangat dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas, serta faktor-faktor fisik lainnya. Tanah Papua memiliki hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya.

Dan semua ini hendak dihancurkan lebih lagi oleh proyek MP3EI yang akan berbasis pada sumber daya alam. Di sektor tambang saja, yang akan mendapatkan untung paling banyak adalah korporasi-korporasi sekelas PT. Freeport Indonesia, Antam, Medco, dan BHP, yang merupakan perusahaan besar yang menguasai kekayaan alam di Papua, yang kesemuanya menghasilkan berbagai krisis lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Praktek kolosal industri ekstraktif juga menghancurkan pengetahuan dan secara perlahan-lahan menghancurkan identitas masyarakat adat dan identitas orang Papua.

Kriminalisasi perlawanan rakyat


Sejak 2004 hingga 2012, terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, meliputi luas areal konflik 2.399.314,49 hektar, dialami oleh731.342 Kepala Keluarga (KPA). Di tahun 2012 saja tak kurang dari 200 aksiprotes rakyat terhadap kegiatan pertambangan di seluruh Indonesia. Hingga kini tindakan kekerasan aparat negara terhadap petani dan masyarakat adat telah mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka tembak, 44 orang meninggal.

Atas landasan ini maka kami dalam Aksi Bersama Hari Bumi 2013 menyatakan:

  1. Freeport adalah aktor perusak lingkungan; usir dan sita aset-asetnya untuk rakyat;
  2. Lapindo harus bertanggung jawab terhadap kerusakan alam dan kerugian ekonomi, sosial dan budaya rakyat Sidoarjo;
  3. Moratorium izin pertambangan di seluruh Indonesia sebelum ada penetapan Wilayah Pertambangan yang melibatkan rakyat;
  4. Lawan MP3EI, Cabut UU Minerba No. 9/2009, UU Penanaman Modal Asing No.25/2007, UU Pengadaan Tanah No.02/2012.
  5. Bebaskan tanpa syarat semua rakyat yang menjadi korban kriminalisasi pertambangan;Selamatkan Bumi dari koorporasi dan pemerintah perusak lingkungan;
  6. Bangun konsolidasi perlawanan nasional terhadap keserakahan tambang.

 Jakarta, 22 April 2013

AKSI BERSAMA HARI BUMI:


 National Papua Solidarity (NAPAS), 
Jaringan Tambang (JATAM), 
Perempuan Mahardhika, 
Pusat Pergerakan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), 
 Himpunan Mahasiswa Islam-MPO (HMI-MPO), 
Politik Rakyat, 
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), 
Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), 
Partai Pembebasan Rakyat (PPR), 
Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), 
KPO-Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), 
Papuan Voices, 
Sindikat Musik Anak Negeri (SIMPONI), 
Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA).



 

PERNYATAAN SIKAP : ALIANSI RAKYAT UNTUK KEMERDEKAAN BERSERIKAT (AKRAB)

Anti Demokrasi, RUU ORMAS

Sumber: Nobodycorp Internationale Unltd
 Kami, Aliansi Rakyat untuk Kemerdekaan Berserikat (AKRAB) adalah masyarakat sipil (civil society) Indonesia, yang terdiri dari puluhan organisasi kemasyarakatan, buruh, mahasiswa, dan pemuda yang memberikan perhatian pada RUU tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) yang sekarang sedang dibahas di DPR (sebagai pengganti UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan) dan RUU tentang Keamanan Nasional (Kamnas). Pada April 2012, saat RUU Ormas sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut Permendagri 33/2012) sebagai turunan dari UU yang tengah direvisi.
RUU Ormas, RUU Kamnas, dan Permendagri 33/2012 mengusung semangat antidemokrasi, mengabaikan prinsip-prinsip pengaturan hak asasi manusia yang benar, dan bersifat otoriter. Semua organisasi kemasyarakatan berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, wajib mendaftarkan diri dan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Layaknya izin beroperasi, SKT dapat diperpanjang, dibekukan, dan kemudian dicabut apabila, antara lain menyebarkan ideologi marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, serta ideologi lain yang  (dianggap) bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan semangat mempertahankan kemerdekaan berserikat di Indonesia, AKRAB menyatakan sikap:
  1. Menolak RUU Ormas dan RUU Kamnas;
  2. Menolak Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah; dan
  3. Menuntut Pencabutan UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat.
Beberapa landasan yang melatarbelakangi sikap ini adalah:

a) . RUU Ormas, RUU Kamnas, dan Permendagri 33/2012 tidak sejalan dengan semangat    kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28 UUD 1945.

b)      Undang Undang yang ada seperti UU No 16 Tahun 2001 jo UU No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, Staatblad 1870-64 tentang Perkumpulan, KUHP, UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah cukup mewadahi dan memberikan jawaban atas berbagai permasalahan tentang organisasi-organisasi yang ada di Indonesia.

c)      Keberadaan RUU Ormas, RUU Kamnas, dan Permendagri 33/2012 justru akan menambah rumit berbagai ketentuan hukum yang ada di Indonesia dan tidak menjawab persoalan yang ada.

d)     RUU ini kembali menghidupkan semangat otoriatianisme dengan kembali memberikan peluang Dwi Fungsi ABRI, serta mengekang hak untuk memiliki ideologi tertentu.

e)      RUU ini berpotensi menjerat berbagai organisasi masyarakat yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara.

f)       Pembangunan di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh negara tetapi juga oleh masyarakat sipil. Untuk itu,masyarakat sipil selayaknya diberikan ruang yang cukup luas untuk tumbuh dan berkontribusi dalam pembangunan di Indonesia.

g)      Pengekangan terhadap kehidupan berorganisasi sama dengan pelanggaran atas hak berorganisasi yang telah dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.

h)      RUU Ormas dan RUU Kamnas seperti halnya UU Penanganan Konflik Sosial dan UU Intelejen dalam analisa kami merupakan produk hukum yang ditujukan untuk terjadinya stabilisasi politik dan ekonomi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa saat ini pemerintah sedang menjalankan rencana besar pembangunan melalui MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). MPEI pemerintah membuka 5 koridor wilayah untuk ladang investasi pertambangan, perkebunan, infrastruktur, dll. Tentu saja akibat dari pembukaan lahan investasi di 5 koridor wilayah tersebut akan mengakibatkan terjadinya konflik sosial dengan bermacam-macam isu (konflik perampasan tanah, konflik pertambangan, lingkungan, masyarakat adat, hubungan industrial, dsb). Dalam banyak kasus, terutama di pertanian, perkebunan dan masyarakat adat, konflik dengan korporasi mengakibatkan terjadinya kekerasan, dimana pihak korporasi di dukung oleh aparatus kepolisian dan tentara. Kekerasan atas nama stabilisasi investasi terjadi, dan dengan diberlakukannya RUU Ormas, RUU Kamnas serta UU PKS, Intelejen, dll akan memudahkan pemerintah untuk melumpuhkan potensi perlawanan rakyat melalui pengekangan organisasi/serikatnya.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai dorongan kepada DPR dan Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RUU Ormas dan RUU Kamnas sekarang juga dan mencabut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985.

Jakarta, 12 April 2013

ALIANSI RAKYAT UNTUK KEMERDEKAAN BERSERIKAT
(AKRAB)
  1. EN – Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
  2. Federasi Perjuangan Buruh Jaboatek (FPBJ)
  3. KOMPAK
  4. KONTRAS
  5. Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB)
  6. National Papua Solidarity (NAPAS)
  7. Arus Pelangi
  8. Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
  9. Perempuan Mahardhika
  10. Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI)
  11. Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia (PPBI)
  12. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)
  13. Progresif
  14. Green Peace
  15. SMI
  16. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
  17. YAPPIKA 
  18. Politik Rakyat

 

Pernyataan Sikap NAPAS: Wabah di Tambrauw


Semua instansi pemerintah bertanggung jawab terhadap pembiaran wabah dan kelaparan di distrik Kwor, Kab.Tambrauw, Papua Barat; Sekali lagi, Otsus dan UP4B bukan solusi!

Serangan wabah dan kelaparan di Propinsi Papua Barat baru-baru ini telah membunuh 95 orang sudah terjadi sejak bulan November 2012. Ratusan manusia terkungkung dalam keadaan diliputi sakit dan tak berdaya hingga sebagian akhirnya meninggal secara beruntun tanpa memperoleh tindakan pelayanan kesehatan yang semestinya dari pemerintah dan petugas medis setempat. Mereka ini adalah warga Kabupaten Tambrauw, Distrik Kwor, Kampung Jocjoker, Kosefo, Baddei, Sukuwes dan Krisnos.
Penyebab kematian dan sakit sementara diduga karena menderita gizi buruk atau busung lapar dan diserang jenis wabah penyakit tertentu. Menurut laporan masyarakat setempat, sejak November 2012 – Februari 2013 jumlah yang sakit dan meninggal menurut kampung adalah: di Kampung Baddei ada 250 orang yang sakit dan meninggal 45 orang; di  Kampung Jokjoker ada 210 orang sakit dan 15 orang meninggal; di Kampung Kosefo ada 75 orang sakit dan 35 orang  meninggal. Hingga tadi malam dilaporkan korban kemungkinan akan terus bertambah.
Murti Utami, mengutip keterangan Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat, Otto Parorrongan, mengatakan tidak ada KLB (Kejadian Luar Biasa) di Kwor dan menurut mereka korban sejumlah 15 orang sejak November 2012 dianggap masih batas kewajaran. Padahal menurut pernyataan Dinas Kesehatan Propinsi Papua Barat kemudian, mereka mengakui ada wabah di kelima desa tersebut, namun belum dapat memverifikasi data korban yang sebenarnya. Sehingga pernyataan Murti utami di Informasi tersebut, menurut kami menyesatkan. Menurut tim kami yang memberi laporan terakhir tadi malam, kunjungan Dinas Kesehatan pun hanya meliputi satu desa pada tanggal 26-29 Maret 2013. Selain itu, kejadian ini juga bukan pertama kalinya, sudah pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Alasan bahwa lokasi desa-desa tersebut sangat terpencil dan sulit dijangkau juga merupakan alasan sangat klise yang selalu digunakan sebagai dalih ketiadaan tanggung jawab pemerintah. Bukankah proyek infrastruktur dalam Otsus dan UP4B dengan dana milyaran rupiah seharusnya ditujukan untuk menjawab ini? Kenapa tidak ada fasilitas kesehatan di 5 desa tersebut hingga detik ini? Kenapa justru peningkatan infrastuktur dinikmati para investor yang difasilitasi negara dengan berbagai jenis kendaraan canggih yang bisa wara wiri di udara dan darat untuk kepentingan perluasan tambang dan perampasa tanah?

Bukti Otonomi Khusus dan UP4B bukan solusi

Dengan penderitaan dan kematian di Kwor saat ini, Otonomi Khusus (Otsus) dan atau UP4B terbukti tidak memberi signifikansi bagi jaminan hidup, rasa aman dan kesejahteraan rakyat Papua. Program percepatan pembangunan, pendidikan, dan kesehatan serta infrastruktur yang menjadi jargon Otsus hanya jadi komoditas politik. Masyarakat Kwor tidak menemukan fasilitas kesehatan yang dapat mereka jangkau ketika wabah menyerang, tak ada tenaga medis yang bisa mereka temui ketika kematian mengancam. Kemana negara dalam situasi seperti itu? Kenapa negara lebih cepat hadir dalam demonstrasi-demonstrasi rakyat Papua, atau pertemuan-pertemuan umum masyarakat Papua ketimbang dalam membantu rakyat yang menderita.
Manusia Papua semakin hari semakin kehilangan jaminan mempertahanankan hak untuk hidup. Kasus-kasus hilangnya nyawa seseorang dengan cara-cara tragis, dalam wilayah tanggungjawab Negara bukan barang baru di Papua. Di satu sisi, hilangnya nyawa manusia Papua dengan cara tragis ini sebagai ekses dari tindakan langsung negara, disisi lain sebagai ekses dari sikap pembiaran.
Bentuk tindakan langsung (nyata dan vulgar) itu berupa rentetan tindak kekerasan aparat keamanan Negara yang berbuntut pada terancam hingga hilangnya nyawa seseorang, masih terus mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Papua sampai sekarang. Tak kurang dari 100.000 ribu orang Papua telah meregang nyawa akibat pendekatan militeristik yang selalu diterapkan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua sejak intergrasi.
Sedangkan bentuk vulgar dari sikap pembiaran terhadap hilangnya jaminan hidup manusia Papua adalah tampak dalam aspek kesehatan. Tanah Papua masih tetap menjadi daerah epidemi Malaria dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), daerah dengan tingkat kematian Ibu dan bayi cukup tinggi, jumlah pengidap HIV/AIDS tertinggi di Indonesia dan terus berkembang, begitu juga dengan penderita gizi buruk. Fasilitas dan tenaga medis pun tidak memadai bahkan ada masyarakat yang sama sekali tidak disentuh pelayanan kesehatan.
Meski hidup di bawah sebuah kekuasaan pemerintah merdeka, berdaulat, dan modern namun tidak ada jaminan bagi pemenuhan atas hak hidup manusia Papua. Sebagai contoh, di Kabupaten Yahukimo, akibat kealpaan pemerintah pada aspek pemenuhan pangan dan gizi, terungkap bahwa kurang lebih 128 dan 92 orang meninggal dunia akibat kelaparan, masing-masing pada tahun 2005 dan 2009.

Tentu masih segar dalam ingatan orang Papua, ketika pada 28 Juli 2008 lalu, dalam sebuah konferensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Pdt. Dr. Beny Giay dari KPKC Sinode Kingmi Papua membeberkan bahwa sebanyak 172 warga Kabupaten Dogiyai telah meninggal dunia akibat wabah muntaber dan kolera yang terjadi antara bulan April-Juli tahun itu. Korban terdiri dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang dewasa. Kemudian, 7 Agustus tahun yang sama, kembali diporkannya bahwa jumlah korban meninggal meningkat menjadi 239 jiwa. Saat itu, penanganan pemerintah sangat lambat dan terkesan saling lempar tanggungjawab.

Belajar dari seluruh rentetan fakta yang ada ini, kami yang tergabung dalam National Papua Solidarity (NAPAS), suatu gerakan solidaritas nasional untuk Papua, menuntut kepada Pemerintah Pusat:
  1. Tim kesehatan harus datang ke seluruh desa, dan libatkan masyarakat yang paham medan serta sudah bekerja untuk membantu para korban;
  2. Buka ruang seluasnya dan segera bentuk Tim Investigasi Independen untuk melakukan penyelidikan terkait kasus kematian massal serta ketiadaan pelayanan.
  3. Cabut Otsus, Hentikan UP4B dan Pemekaran Wilayah, alihkan dananya untuk memperbanyak rumah sakit, tenaga medis, obat-obatan, dan makanan sehat di seluruh Papua.

Viva Papua, Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!
Jakarta, 4 April 2013

Zely Ariane
Koordinator

LAPORAN

KRONOLOGIS KEMATIAN DI KABUPATEN TAMBRAUW
“KAMI SUDAH SAKIT LAMA TAPI  PETUGAS KESEHATAN TIDAK PEDULI”

Kejadian yang sungguh tragis menimpa rakyat Papua di Kabupaten Tambrauw, dimana manusia yang hidup kini mengalami bencana memilukan. Masalah kesehatan yang menimbulkan kematian tragis tidak diketahui oleh aparat pemerintah Tambrauw sehingga lambat menyelamatkan korban.
Kesakitan masyarakat ini berada di Distrik Kwor, Kampung Jocjoker, Kosefo, Baddei, Sukuwes, Krisnos. Wabah yang terjadi sudah berlangsug lama dari bulan November tahun 2012 lalu, hingga membuat penderitaan kolektif dalam masyarakat. Jenis penyakit yang diderita (busung lapar atau kurang gizi, gatal-gatal) karena ketiadaan pelayanan hingga bulan Februari 2013 menyebabkan kematian di Distrik  Kwor. Kampung-kampung yang dilanda kematian diantaranya: Kampung Baddei 250 orang sakit dan 45 orang meninggal, Kampung Jokjoker 210 orang sakit dan 15 orang meninggal, Kampung Kosefo 75 orang  orang sakit dan 35 orang meninggal.
Dari pendapat masyarakat yang berada di Distrik Kwor, mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan. Setiap datang pengobatan ke Puskesmas Bantu (Pustu) di Distrik Kwor, tidak ada mantri atau dokter di tempat, membuat mereka harus berjalan kaki ke Kampung-kampung lain, yang menyediakan pelayanan. Dari penjelasan diaktakan bahwa perjalanan membutuhkan waktu lama dan memberikan kesan bahwa pasien lah justru yang harus mencari dokter.
Dari keterangan Pelayan Gereja di Kampung Jokjoker, kesakitan masal berlangsung sejak bulan November 2012. Mereka sempat mencari pengobatan ke Werur dan sudah ada laporan ke medis di  kampung Bikar & Kampung Werur, namun tidak ada kepedulian, hal yang sama juga disampaikan ke Distrik Sausapor Ibu kota sementara Kabupaten Tambrauw, namun belum ada kepastian bahkan tidak perduli. Masyarakat turun cari pengobatan sendiri dengan berjalan kaki hingga berhari-hari.
Hingga bulan Ferbuari 2013 kematian terjadi hampir di setiap kampung Distrik Kwor dan berturut-turut, hingga pasien dari Kampung Kosefo yang sakit hampir 12 orang bersama dengan kepala Bamuskam (Badan Musyawarah Kampung) melakukan perjalanan ke Distrik Sausapor dengan menempuh jarak 4 hari hanya untuk berobat di Pustu rawat inap di Distrik Sausapor. Di tempat tersebut informasi kematian baru diketahui pihak medis.
Karena kematian berulang-ulang, masyarakat hidup dalam ketakutan dan keluar dari Kampung Jokjoker lalu pindah sementara ke Bikar, Baddei, Sibi dan sebagian orang di Sausapor. Dari Bikar ke Jokjoker berjalan kaki kurang lebih 1 hari. Sebelumnya, masyarakat sempat datang minta-minta tenaga medis namun tidak ada tanggapan atau respon yang positif.
Pemerintah lambat sekali melakukan pelayananan dan dengan adalasan tidak terjangkau. Mereka baru melakukan distribusi obat-obatan di beberapa titik Kampung Sumbab dan  Kampung Bikar karena penduduknya lebih banyak. Kemudian masyarakat disuruh untuk turun ke Kampung-kampung, tetapi karena banyak yang sakit dan tidak mampu berjalan maka mereka hanya menitipkan surat kepada masyarakat yang kuat untuk memberitahu keluhan penyakinya, kemudian mereka kembali lagi ke kampung dengan membawah obat-obatan yang diberikan oleh dokter yang melakukan pelayanan.
Rekomendasi:
  1. Adanya indikasi pelanggaran HAM berat dilakukan Negara dengan pembiaran yang membuat masyarakat menjadi korban
  2. Segera bentuk tim bantuan untuk manusia yang sakit dengan melakukan pengobatan, perawatan dan pelayanan sesegera mungkin
  3. Melakukan pendekatan konseling, dan penguatan pisikologis bagi masyarakat yang mengalami kehilangan sanak saudara/i, anak, suami, istrik, adik, kakak, keluarga, marga hingga mencegah trauma yang berkepanjangan.
  4. Segera dibentuk tim investigasi independen untuk melakukan investigasi terkait kasus kematian massal serta pelayanan yang tidak sesuai.

Solidaritas Rakyat Peduli Kemanusiaan

Bovit Bofra
Koordinator

Cp. Bovit (0852 442 81514), Ase (0823 15232 666), Fredi (0813 44684132)



 
 
Copyright © 2013. National Papua Solidarity - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger