NAPAS Mengecam Pelarangan Peringatan 50 Tahun pemindahan administrasi West Papua Guinea dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963
National Papua Solidarity (NAPAS) mengecam keputusan pelarangan Polda Papua terkait rencana penyelenggaraan demonstrasi di Papua memperingati 50 tahun penyerahan administrasi West New Guinea (sekarang Papua) dari UNTEA ke Indonesia, 1 Mei 2013. Keputusan Polda tersebut, yang juga secara eksplisit didukung oleh Gubernur Papua, melanggar hak kebebasan berkumpul dan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 1945. Pelarangan ini juga menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah RI yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua. Lebih jauh lagi, keputusan ini akan semakin merugikan proses dan kemungkinan pembangunan solusi damai bagi konflik Papua. Selain itu pelarangan terhadap 50 tahun peringatan 1 Mei menunjukan posisi pemerintah Indonesia yang memonopoli intepretasi sejarah sesuai kepentingan kekuasaan negara bukan kepentingan seluruh rakyat Papua.
Sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan administrasi wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei 1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) yang hendak kami garisbawahi pada peringatan 50 tahun ini adalah sebagai berikut:
- Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab administrasi seluruhnya”, bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV);
- Selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan “intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan” (Pasal XV) ;
- Di akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB, diselenggarakan the act of free choice akan bagi rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan Indonesia (Pasal XVIII);
- Indonesia “akan menghormati komitmen tersebut” (Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua, termasuk hak-hak atas kebebasan pendapat dan kebebasan berkumpul dan melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).
Merefleksikan momentum historis dalam sejarah Papua ini, kami dengan menyesak menggarisbawahi fakta bahwa rakyat Papua tidak pernah diundang untuk berpartisipasi dalam proses formulasi dan implementasi Perjanjian New York baik oleh Belanda, Indonesia, maupun PBB. Kami mempertanyakan sejauh mana pemerintah Indonesia memenuhi tanggung jawabnya untuk menyediakan pendidikan berkualitas, kesehatan dan layanan publik lainnya seperti yang ditetapkan oleh perjanjian tersebut. Lebih jauh lagi, hak-hak rakyat Papua untuk kebebasan berpendapat, berkumpul dan melakukan pergerakan tidak sepenuhnya dijamin dan dilindungi seperti yang dicatat oleh berbagai laporan sejarah diseputar periode transisi ini.
Ketika Gubernur Papua maupun Kapolda Papua sengaja melarang semua aktivitas rakyat Papua yang hendak memperingati momentum historis ini, sejarah mengulang dirinya. Hak rakyat Papua atas kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul dan bergerak tidak dijamin dan dilindungi di masa itu hingga sekarang. Oleh karena itu, kami mempertanyakan baik pemerintah daerah di Papua maupun pemerintah nasional Indonesia: apakah rakyat Papua diperlakukan sebagai warga negara atau hanya penduduk.
Terlepas dari pelarangan itu, di Jakarta, NAPAS berencana menggelar Malam Budaya “Satu Papua Satu Perjuangan” untuk memperingati peristiwa ini. Kita semua tahu bahwa penindasan terhadap memori sejarah masa lalu tak saja melanggar hak-hak kita dan kebebasan tetapi yang lebih penting, keberadaan kita. Laporan-laporan historis telah menunjukkan bahwa konflik Papua dan yang terus berlanjuta sampai saat ini berakar pada tanggal yang paling bersejarah, 1 May 1963, ketika UNTEA menyerahkan Papua pada Indonesia. Namun peluncuran Satu Papua bermakna lebih luas dari itu. Setelah 50 tahun hingga hari ini rakyat Papua telah dipecah belah, tidak terbangun persatuan dan solidaritas antar sesama rakyat yang tertindas. Menyadari kenyataan ini, malam budaya 1 Mei nanti bagi NAPAS suatu kesempatan untuk refleksi bagaimana menyatukan perjuangan untuk pembebasan di Papua, dan solidaritas antar rakyat di nusantara, sekaligus agar setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai haripenyatuan kekuatan rakyat Papua.
Zely Ariane,
Kordinator NAPAS
(Mobile +62-8158126673)
Kordinator NAPAS
(Mobile +62-8158126673)
+ komentar + 1 komentar
saya dari pihak metland tambun mendukung !
Posting Komentar