Laporan
Utama
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013
Dana yang melimpah
belum tentu jatuh untuk kepentingan rakyat. Dengan dana Otonomi
Khusus (Otsus) di Papua dan Papua Barat sebesar Rp. 40 trilyun dari
tahun 2002 sampai 2013 seharusnya Papua paling depan dalam pemenuhan
hak-hak dasar masyarakatnya. Tapi kenyataan bicara lain. Dari bumi
Papua kita mendapat fakta kelaparan, gizi buruk dan kematian di
Distrik Kwor Kabupaten Tamrauw Provinsi Papua Barat serta 6 di
Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo
Kucuran Dana
Otonomi Khusus sejumlah Rp 40 trilyun ini tidak termasuk dana
Tambahan Infrastruktur dari Pemerintah Pusat. Jumlah uang lebih
banyak dari pada jumlah penduduk hanya 2 juta orang. Dalam
Undang-Undang Otsus (UU No 21 Thn 2001) pasal 36 mengatur bahwa
sekurang-kurangnya dana 15 persen dana Otsus + 20 persen dari APBD
diperuntukan untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
Badan Pemeriksa
Keungan (BPK RI) menemukan penyimpangan dana otonomi khusus Rp 4,8
Triliun sejak 2002-2010. Anggota BPK, Rizal Djalil merelis ke media
pada 20 April 2011 bahwa ada indikasi korupsi dana Otonomi Khusus di
Tanah Papua. Ironisnya, dugaan penyimpangan dana yang besar itu belum
secara serius ditangani secara hukum oleh pihak berwaji. Sampai saat
ini hanya 1 orang pejabat daerah yang divonis bersalah yaitu Yusak
Yaluwo, Bupati Boven Diguel, sementara, pejabat lainnya belum
diperiksa. Penegak hukum jangan percaya gertakan politik dari para
pejabat negara yang terindikasi menyalahgunakan dana Otsus. Rakyat
Papua juga ingin para koruptor yang merampok hak mereka untuk
memperkaya diri juga dihukum setimpal.Hukum harus ditegakan secara
adil kepada siapapun.
Pada awal dan pertengahan bulan lalu
(April 2013), kita mendengar peristiwa kematian 95 orang (95 orang
menurut masyarat dan 15 orang menurut Pemerintah) dan 535 orang
lainnya menderita sakit sejak bulan November sampai Februari 2013 di
Distrik Kwor Kabupaten Tamrauw Provinsi Papua Barat serta 61 orang
meninggal di Distrik Samenage Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua.
Kelaparan dan Kematian di Distrik
Kwor
Kabupaten
Tambrauw adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat, Dasar
hukum pembentukan kabupaten ini adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 56 dengan perubahan Pasal 3 ayat (1)
sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 127/PUU-VII/2009,
tanggal 25 Januari 2009. Kabupaten ini diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri Indonesia, Mardiyanto pada 29 Oktober 2008 dengan menunjuk
Menase Paa sebagai pejabat bupati sementarapada tanggal 15 April
2009.
Berdasarkan
data dari Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Tambrauw,
jumlah penduduk Kabupaten Tambrauw di 7 Distrik pada tahun 2011
sebanyak 9.771 jiwa yang terdiri dari 5.309 penduduk laki-laki dan
4.462 penduduk perempuan. Adapun jumlah penduduk terbesar berada di
Distrik Sausapor yaitu sebanyak 3.431 jiwa, dan jumlah penduduk
terkecil berada di Distrik Abun sebesar 714 Jiwa.
Dengan
jumlah penduduk yang sedikit, seharusnya pemerintah setempat lebih
memahami kondisi penduduknya dan lebih dapat membuat program yang
sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat sesuai dengan anggaran yang
tersedia. Tapi kenyataanya, pihak pemerintah kabupaten justru
mengetahui kelaparan di wailayahnya melalui laporan media. Dan respon
pertama khas pejabat adalah membantah berita itu, bahkan mengancam
membawa kejalur hukum para aktivis LSM yang mengadukan persoalan
tersebut.
Dalam
soal anggaran, Kabupaten Tambrauw mengalami peningkatan 100 persen.
Berdasarkan data dari Departemen Keuangan tahun 2011, pada kurun 2010
sampai 2011 pendapatan daerah Kabupaten Tambrauw mengalami
peningkatan 100% lebih. Pada tahun 2010 APBD Kabupaten Tambrauw
mencapai Rp 142,84 milyar, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp
360,59 milyar. Belanja daerah Kabupaten Tambrauw pada kurun 2010-2011
juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, belanja daerah Kabupaten
Tambrauw mencapai Rp 142,81 milyar dan pada tahun 2011 meningkat
menjadi Rp 386,61 milyar.
Namun
peningkatan dana yang hampir 100 persen ini sepertinya mayoritas
dihabiskan untuk belanja pegawai, bukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Jadi agak mengherankan dan tak masuk akal bila
anggaran yang meningkat justru mengakibatkan kesejahteraan rakyat
menurun, apalagi sampai mengalami masalah kurang gizi, kelaparan
hingga kematian. Karena itu wajar bila ada peryataan skeptis bahwa
pemekaran wilayah di Papua dilakukan bukan untuk mendekatkan
pelayanan negara pada publik untuk mememnui hak-hak dasarnya, tapi
lebih kepada kepentingan politik untuk memperoleh jabatan dan
memanfaatkan anggaran.
Belanja Daerah Kabupaten Tambrauw 2010-2011 (Sumber: Departemen Keuangan (2011) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Tambrauw Tahun 2012-2016, 2012) |
Dengan APBD yang
meningkat 100 persen dan jumlah penduduk yang sedikit, sekitar 95
warga mengalami kematian dan ratusan warga lainnya sakit di Distrik
Kwor Kabupaten Tamrauw karena kekurangan gizi dan gatal-gatal. Di
Distrik Kwor terdapat 8 Kampung dan didiami 2.250 Jiwa (penduduk).
Menurut tokoh gereja setempat, peristiwa kematian dan sakit
gata-gatal ini sudah lama dilaporkan kepada petugas kesehatan yang
berkunjung di puskemas pembantu (Pustu) tetapi belum ada respon balik
dari pemerintah setempat.
Menurut
Karon aktivis kemanusiaan di Kwor, fasilitas kesehatan sangat minim.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sorong, pada
tahun 2010 terdapat 4 (empat) buah Puskesmas di Kabupaten Tambrauw
yang tersebar di Distrik Fef, Syujak, Abun, dan Sausapor. Adapun
tenaga medis yang terdapat pada Kabupaten Tambrauw sebanyak 21 orang
yang terdiri dari dokter dan perawat. Di Kampung Kwor sendiri hanya
ada sebuah puskesmas pembantu. Kondisinya memprihatinkan karena tidak
ada obat-obatan dan tenaga kesehatan yang jarang berada di tempat.
Hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan diabaikan.
Diagram Distribusi Puskesmas dan Tenaga Medis di Kabupaten Tambrauw
(Sumber: Kabupaten Tambrauw Dalam Angka, 2011)
(Sumber: Kabupaten Tambrauw Dalam Angka, 2011)
Peristiwa yang serupa terjadi di
Distrik Semenage, Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua, dimana 61 orang
meninggal karena sakit. Peristiwa ini terjadi sejak bulan 15 Januari-
30 Maret 2013. Penyebab kematiannya karena diserang berbagai penyakit
seperti, sesak nafas, menceret, sakit ulu hati, cacingan, badan
bengkak-bengkak, dan jantung bengkak.
Berdasarkan hasil penelitian selama
kunjungan pastoral di Distrik Segema, Tokoh gereja pastor John Jonga
dan Dorkas Kosay, mengatakan bahwa di kampung-kampung, terdapat
banyak anak-anak dan ibu-ibu yang sakit, mereka tidak mendapat
pelayanan medis dari petugas kesehatan karena tidak ada tenaga
kesehatan di Puskes Pembantu. Hanya seorang kader (pembantu Mantri
dan bidan ) yang berada di tempat, ia pun tak bisa berbuat banyak
karena bukan bidan yang mengikuti sekolah formal, dan kalaupun bidan
ada mereka kebanyakan berada di Kota. Tidak ada penyediaan
obat-obatan, obat yang tersedia pun berhamburan di lantai Puskesmas
Pembantu. Fakta di lapangan ini berbeda dengan data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Yahukimo. Menurut pemerintah terdapat sebuah
Puskesmas Pembantu dengan 5 orang petugas kesehatan (3 orang perawat
dan 2 orang bidan ) di Disktrik Semenage.
(http://www.yahukimokab.go.id)
pada tahun 2009.
Kasus kematian warga akibat penyakit
kekurangan pangan dan gizi buruk di Kabupaten Yahukimo pernah terjadi
sebelumnya pada tahun 2005 dan 2009, dalam peristiwa itu 220 orang
meninggal dunia. Selain di Kabupaten Yahukimo, wabah kolera dan
muntaber terjadi pada bulan Juli Tahun 2008 di Kabupaten Dogiyai;
Menurut laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi Papua,
sebanyak 239 Warga Dogiyai telah meninggal dunia akibat wabah kolera
dan muntaber yang terjadi antara bulan April-Juli tahun itu. Korban
terdiri dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Dalam situasi itu,
perhatian pemerintah sangat lambat dan saling lempar tanggung jawab
antara pemerintah Kabupaten dan Provinsi.
Pada 4 Desember 2007, sebanyak 21
orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba Kabupaten Paniai Papua
meninggal dunia akibat kelaparangan. Korban 21 orang itu
terdiri dari 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan dan 12 orang
lainnya anak-anak. Tokoh Masyarakat adat setempat, Maxsimus Tipagau,
mengatakan kelaparan terjadi karena gagal panen, dimana musim es
menghancurkan tanaman masyarakat. Tidak ada bantuan dari pemerintah
Kabupaten Paniai dan mereka meminta bantuan dari PT. Freeport tetapi
itu pun tidak direspon, Dumadama berada di wilayah konsesi Freeport.
Beberapa kasus kelaparan, kekurangan
gizi dan wabah diare dan kolera yang telah disebutkan diatas
merupakan potret terkecil dari dunia kesehatan di Tanah Papua.
Pemerintah lari dari tanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat. Untuk memenuhi hak warga atas kesehatan, pangan
dan hak hidup merupakan kewajiban pemerintah tetapi selama ini
pemerintah mengabaikan kewajibannya.
Hak Kesehatan Warga yang Terabaikan
Pelayanan kesehatan, perbaikan gizi
dan pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur di bidang
kesehatan sangat minim sehingga angka kematian ibu dan anak semakin
tinggi, kasus HIV/AIDS semakin tinggi. Data Kemenkes RI per 18
Februari 2013, menunjukan bahwa Provinsi Papua berada di urutan
pertama dalam kasus HIV/AIDS dengan jumlah 1798 orang dan Papua Barat
sebanyak 2074 orang. Selain itu, kemiskinan struktural pun melilit
warga Papua Papua.
Penggunaan uang Otonomi Khusus tidak
sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat tetapi digunakan sesuai
keinginan pemerintah. Bidang Kesehatan ini merupakan salah satu
program prioritas yang diamanatkan dalam paket Otsus Papua. Penegasan
di bidang kesehatan dirumuskan dalam pasal 39 yang “mewajibkan”
pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi penyakit-penykit epidemic
atau penyakit yang yang dapat membahayakan bagi kelangsungan hidup
penduduk Papua. Amanat itu tidak dilaksanakan selama 10 tahaun
implementasi Otonomi Khusus di Tanah Papua. Tidak ada kemajuan yang
berarti dalam bidang Kesehatan.
Berdasarkan fakta-fakta pengabaian
hak-hak masyarakat Papua terutama dalam pemenuhan pangan dan
pelayanan kesehatan, National Papua Solidarity (NAPAS), Yayasan
Pusaka, IHCS dan KontraS mendesak kepada Pemerintah untuk:
- Memperhatiakan dan melaksanakan kewajibannya memenuhi hak masyarakat atas pelayanan Kesehatan dan Pangan;
- Anggarkan dana 50 persen untuk peningkatan SDM di bidang Kesehatan (tenaga medis, dokter dan bidan), memperbanyak Rumah Sakit, Puskesmas dan Puskesmas pembantu sampai di daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok Tanah Papua.
- Pemberian sanksi tegas termasuk pemecatan terhadap para petugas kesehatan yang sering meninggalkan tugas dan lebih senang tinggal di kota;
- Menolak rencana pemberlakuan Otonomi Plus ditengah kebijakan otonomi khusus yang carut marut dan pendekatan UP4B yang gagal menyejahterakan rakyat.
*Tim laporan Utama; Ellias, Herman,
Zely Ariane, Wilson
+ komentar + 3 komentar
bagaimana tanggung jawab pemerintah nih? kami dari metland tambung turut prihatin.
bagaimana tanggung jawab pemerintah nih? kami dari metland tambung turut prihatin.
melihat kondisi rakyat seperti itu, apa mungkin tidak ada pemerintahan disana atau mati rasa.
Posting Komentar