Rubrik
Kasus
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013
Peristiwa
longsornya Big Gossan yang menyebabkan 28 orang meninggal adalah
kematian terbesar yang diketahui dalam sejarah kelongsoran tambang PT
Freeport Indonesia (PT. FI).Peristiwa
ini terjadi di tengah rencana perpanjangan kontrak karya PT.FI
dan negosiasi royalti dengan pemerintah Indonesia, serta negosiasi
pembaruan kontrak kerja bersama dengan para pekerja SPSI PT. FI yang
sempat melakukan pemogokan di penghujung 2011 lalu untuk menuntut
peningkatan upah dan keselamatan kerja.
Menurut laporan Sapariah Saturi di
Mogabay-Indonesia, longsor tambang Freeport bukanlah kali pertama,
dan bukan kali pertama pula kasusnya menghilang tanpa kejelasan
begitu saja. Pada
23 Maret 2006 tiga pekerja perusahaan PT. Pontil, subkontraktor PT.
Freeport, tewas akibat longsor di areal pertambangan. Seperti halnya
kejadian longsor Big Gossan, PT. FI menyatakan bekerjasama dengan
kementerian ESDM untuk mencari penyebab longsong, namun hasilnya tak
pernah diketahui publik.
Pada 9 Oktober 2003, menurut laporan
Down To Earth, longsor besar di Grasberg mengakibatkan 8 orang tewas
dan 5 luka-luka. Dinding selatan galian tambang runtuh dan 2,3 juta
ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang.
Ironis, karena menurut Sydney Morning Herald, Freeport sebetulnya
telah mengetahui peringatan bencana namun membiarkan para pekerja
memasuki wilayah bahaya, padahal para pekerjapun telah memberi
peringatan pada pimpinan operasi tentang potensi bahaya
tersebut.Kementerian Energi dan Pertambangan membentuk tim
penyelidik, namun tidak jelas siapa yang dimintai pertanggungjawaban.
Sementara Rozik B Soethibto, Presiden
Direktur PT. FI, mengatakan akan melakukan penyelidikan menyeluruh
pasca penyelamatan dengan melibatkan tenaga ahli internasional dan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akan memastikan
kejadian ini tidak terulang. Demikian pula SBY dalam pesan
twitternya.
Namun tak satupun dari mereka yang
mengingatkan kita pada nasib penyelidikan 7 tahun sebelumnya, yang
berujung tidak jelas. Tentu kita kerap mengerti bahwa dalam setiap
tragedi yang menewaskan orang-orang tidak bersalah seperti ini,
dimana para pemangku kepentingan dan pertanggungjawaban menjadi
sorotan publik, janji-janji penyelidikan akan diumbar, dan ketika
sorotan itu meredup dan menghilang, janji tinggallah janji tak
bertuan.
Dalam diskusi yang
diadakan NAPAS merespon kematian buruh PT Freeport ini, Iqbal Ketua
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyatakan kelalaian
yang menyebabkan kematian buruh itu seharusnya dapat dibawa ke jalur
hukum. Namun pemerintah tampaknya memilih jalan damai, dengan
mengorbankan 28 nyawa buruh bangsanya sendiri. Iqbal juga menyerukan
pada serikat pekerja di Indonesia agar melakukan aksi solidaritas
untuk buruh korban PT Freeport dengan cara memberi tekanan kapada
kantor PT Freeport Indonesia di Jakarta. Solidaritas buruh Indonesia
dan dunia, merupakan salah satu senjata ampuh untuk menekan PT
Freeport agar memperhatikan kepentingan kaum buruh dan
menghubungkannya dengan isu Papua.
(liputan Zely Ariane)
Catatan: Dari penyelidikan KOMNAS HAM, diduga telah terjadi pelanggaran HAM atas kejadian ini:
Posting Komentar